Tentara Israel kembali melancarkan operasi penghancuran besar-besaran di Kota Gaza, Sabtu (6/9). Aksi ini menjadi bagian dari rencana sistematis untuk mengusir warga dan menduduki kota, sementara serangan udara baru menambah daftar panjang korban syahid dan luka-luka.
Laporan dari lapangan menyebut pasukan Israel menargetkan wilayah utara Kota Gaza dengan ledakan masif yang meratakan blok-blok permukiman. Sehari sebelumnya, mereka sudah menghancurkan Menara Mushtaha di sebelah barat kota.
Kementerian Kesehatan mencatat tragedi terbaru di Kamp Shati, Gaza barat: serangan Israel menewaskan lima orang, termasuk seorang anak kecil, dan melukai banyak lainnya. Sejak Jumat dini hari, setidaknya 51 warga Palestina gugur, 36 di antaranya di Kota Gaza.
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, bahkan secara terbuka menyatakan eskalasi serangan sebagai “pembukaan pintu neraka”, pernyataan yang oleh Hamas disebut sebagai pengakuan terang-terangan atas kejahatan genosida.
Beberapa minggu terakhir, pasukan Israel terus meratakan blok-blok perumahan di Gaza dan Jabalia dalam operasi yang mereka namai “Kereta Gideon 2,” strategi militer yang sesungguhnya bermakna pembersihan etnis.
Kecaman internasional pun berdatangan. Negara-negara dan organisasi hak asasi manusia memperingatkan bahaya gelombang pengusiran besar-besaran terhadap lebih dari satu juta penduduk Kota Gaza. PBB melaporkan, ribuan warga kini terpaksa melarikan diri ke tepi pantai, hanya untuk menemukan kelaparan dan maut yang terus mengintai.
Sejak Oktober 2023, Israel dengan dukungan penuh Amerika Serikat melancarkan perang pemusnahan di Gaza: membunuh, melaparkan, menghancurkan, dan mengusir paksa. Semua dilakukan dengan mengabaikan seruan dunia dan melanggar putusan Mahkamah Internasional.
Hingga kini, genosida itu telah merenggut lebih dari 64 ribu jiwa dan melukai 162 ribu orang lainnya. Dari kelaparan yang disengaja, 376 warga Palestina telah syahid, termasuk 134 anak-anak.