Hampir empat minggu pasca-gencatan senjata, bantuan yang masuk ke Jalur Gaza masih sangat minim. Badan-badan kemanusiaan menyebut, kelaparan terus menghantui warga sementara tenda-tenda yang tersisa mulai rusak akibat dua tahun serangan Israel yang dahsyat.

Pemerintah daerah Gaza, yang dikuasai Hamas, melaporkan sebagian besar truk bantuan masih terhambat oleh pembatasan Israel. Hanya sekitar 145 truk per hari yang berhasil mengirim pasokan, jauh di bawah kebutuhan masyarakat. Sementara itu, PBB kini tidak lagi rutin merilis angka truk bantuan harian seperti yang dilakukan selama perang.

“Kondisinya sangat buruk. Tidak ada tenda yang layak, air bersih, makanan cukup, atau uang untuk kebutuhan dasar,” kata Manal Salem, 52 tahun, yang tinggal di tenda tua di Khan Younis, Gaza selatan. “Tenda ini sangat usang, saya khawatir tidak akan bertahan saat musim dingin tiba,” ujarnya kepada Reuters, 5 November.

Gencatan senjata seharusnya memungkinkan distribusi bantuan secara cepat ke seluruh wilayah padat penduduk ini. Namun hampir setengah dari kebutuhan pangan tidak terpenuhi, menurut Program Pangan Dunia (WFP), sementara badan-badan kemanusiaan Palestina memperkirakan hanya seperempat hingga sepertiga dari jumlah bantuan yang diharapkan berhasil masuk.

Israel menegaskan pihaknya telah memenuhi kewajiban sesuai perjanjian gencatan senjata, yang mewajibkan rata-rata 600 truk per hari. Namun mereka menuduh pejuang Hamas mencuri bantuan sebelum distribusi—tuduhan yang dibantah oleh kelompok tersebut.

OCHA, badan kemanusiaan PBB, mencatat ada beberapa perbaikan sejak pertengahan Oktober. Misalnya, angka malnutrisi akut pada anak-anak menurun dari 14 persen di September menjadi satu persepuluh di November, meski lebih dari 1.000 anak masih menunjukkan malnutrisi parah. Separuh keluarga di Gaza kini memiliki akses lebih baik terhadap makanan, khususnya di selatan. Rata-rata mereka kini makan dua kali sehari, naik dari hanya sekali sehari pada Juli.

Namun kesenjangan antara selatan dan utara Gaza tetap tajam. Warga di utara masih menghadapi krisis berat, sementara bantuan pangan yang masuk hanya setengah dari jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Kita berada dalam perlombaan melawan waktu. Musim dingin segera tiba, orang-orang masih kelaparan, dan kebutuhan mereka sangat besar,” ujar Abeer Etefa, juru bicara senior WFP.

Kekurangan bahan pangan yang bervariasi membuat risiko malnutrisi tinggi. Mayoritas keluarga hanya mengonsumsi sereal, kacang-kacangan, dan ransum makanan kering. Daging, telur, sayuran, dan buah jarang dikonsumsi. Kekurangan bahan bakar, termasuk gas untuk memasak, juga menjadi masalah besar; lebih dari 60 persen warga kini memasak dengan membakar sampah, yang meningkatkan risiko kesehatan.

Tenda-tenda pengungsi menipis, sementara bangunan yang selamat dari serangan militer sering tidak stabil dan rentan terhadap cuaca. “Musim dingin akan segera tiba—air hujan, kemungkinan banjir, dan risiko penyakit dari tumpukan sampah di daerah padat penduduk,” kata Amjad al-Shawa, kepala badan-badan Palestina yang bekerja sama dengan PBB.

Shaina Low, juru bicara Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), menekankan bahwa kondisi kehidupan di Gaza “tak terbayangkan.” NRC memperkirakan sekitar 1,5 juta orang masih membutuhkan tempat berlindung, namun tenda dan terpal masih menunggu izin masuk dari Israel.

Musim dingin ini, warga Gaza menghadapi kenyataan pahit: kelaparan, tenda rapuh, dan bantuan yang belum cukup untuk menahan penderitaan yang terus membayangi.

Sumber: Al Jazeera, Reuters, WFP, OCHA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here