Penghancuran menara-menara tinggi di Gaza bukanlah kebijakan baru yang muncul akibat perang saat ini. Ia adalah strategi lama yang selalu dipakai Israel untuk menekan perlawanan Palestina dengan melukai rakyat sipil.

Sejak penghancuran Menara Al-Dhafar pada 2014, disusul runtuhnya tiga menara dalam waktu kurang dari 24 jam pada agresi Mei 2021, hingga serangan ke Menara Mushtaha Jumat lalu, polanya selalu sama: hukuman kolektif, teror psikologis, dan menjadikan rumah-rumah warga sebagai puing untuk memaksa mereka terusir.

Pers lokal Israel menyebut penghancuran menara ini adalah bagian dari rencana besar untuk menguasai kembali Kota Gaza. Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz bahkan menyebut penghancuran Menara Mushtaha sebagai “permulaan,” sembari mengancam bahwa operasi ini akan berlanjut “hingga Hamas tunduk pada syarat-syarat Israel.”

Tujuan Utama: Pengusiran

Pakar urusan Israel, Khaldoun Barghouti, menegaskan: “Penghancuran menara hanyalah dalih untuk menutupi kebijakan menghancurkan seluruh Gaza. Targetnya jelas, mengubah Gaza menjadi padang beton, memaksa warga mengungsi ke selatan, lalu mengusir mereka ke luar perbatasan.”

Menurutnya, langkah ini sejalan dengan agenda politik kelompok sayap kanan Israel yang dipimpin Netanyahu, Smotrich, Ben Gvir, dan Daniella Weiss, para tokoh yang dikenal sebagai arsitek kolonialisme di Tepi Barat dan Gaza, yang mendorong “rekayasa demografis” lewat pengusiran paksa.

Barghouti menilai, meski Israel berusaha menjustifikasi penghancuran menara yang kini menjadi tempat pengungsian ribuan warga, rencana besar ini sulit terwujud. Bahkan analis militer Israel sendiri mengakui mustahil untuk mengusir seluruh penduduk Gaza, apalagi menggiring mereka keluar negeri. Namun, upaya ini jelas akan meningkatkan isolasi internasional Israel.

Sementara itu, Amerika Serikat memainkan peran paralel: menekan Palestina di arena diplomatik, membatasi akses delegasi resmi ke PBB, mempersulit visa bagi pemegang paspor Palestina, hingga menarget lembaga HAM dengan sanksi.

Senjata Psikologis

Analis politik Sulaiman Basharat melihat serangan terhadap menara setelah hampir dua tahun perang memiliki tujuan strategis. Pertama, menciptakan trauma psikologis mendalam agar keluarga yang menolak mengungsi akhirnya menyerah karena ketakutan. Kedua, mengirim pesan kepada dunia bahwa Israel masih “berada di puncak perang” dan tidak akan menerima gencatan senjata sebelum “mencapai semua tujuannya.”

Lebih jauh, penghancuran menara juga berfungsi untuk mengacaukan strategi perlawanan. Dengan pola serangan yang sulit diprediksi, Israel berupaya merebut inisiatif dan menentukan jalannya perang.

Menurut Basharat, Israel bertaruh pada kemungkinan adanya perubahan politik di masa depan yang membuat perlawanan memberikan sedikit kelonggaran. Namun, sejarah menunjukkan bahwa tekanan brutal justru menumbuhkan daya tahan rakyat Palestina, bukan menyeret mereka pada penyerahan diri.

Israel juga ingin menjadikan Gaza sebagai “model teror” untuk mengirim pesan ke Lebanon, Suriah, Yaman, hingga Iran: “Apa yang kami lakukan di Gaza bisa terulang di tempat kalian.”

Reaksi Dunia

Kendati kecaman internasional terus bermunculan, Basharat menilai reaksi itu masih sebatas pernyataan dan kecaman, tanpa langkah nyata untuk menghentikan Israel. Hal ini justru memperlihatkan bagaimana dunia membiarkan genosida berlangsung, sementara Gaza kian hancur di bawah puing-puing menara yang dijadikan sasaran.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here