Perang tak pernah benar-benar usai, ia hanya berganti tempat dan korban. Dalam refleksi menyayat antara Perang Vietnam (1955–1975) dan perang yang kini mengoyak Gaza sejak Oktober 2023, luka-luka kemanusiaan kembali terbuka.
Gambar-gambar dari masa lalu terasa hidup kembali, seolah hanya lokasi dan wajah yang berubah—sedangkan penderitaan tetap sama: kehancuran total, blokade brutal, eksodus massal, dan kelaparan yang menelan nyawa.
Seperti Vietnam dulu, Gaza hari ini menjadi ladang derita yang tak bertepi.
Dulu, di Vietnam, pesawat-pesawat tempur Amerika menumpahkan ribuan ton bom, menghapus desa demi desa dari peta. Bukan hanya untuk menang, tapi untuk meninggalkan bekas luka permanen pada tanah dan ingatan.
Hari ini, di Gaza yang terkepung, dunia menyaksikan adegan serupa. Lebih dari 60% bangunan luluh lantak—rumah sakit, sekolah, hingga roti di tangan pun jadi target serangan. Seluruh wilayah seolah ditandai sebagai sasaran sah.
Vietnam kehilangan sekitar dua juta jiwa dalam dua dekade perang. Gaza, dalam enam bulan terakhir, telah kehilangan lebih dari 50 ribu syuhada. Di antara kedua tragedi itu, satu kebenaran menyala pilu: manusia selalu jadi pihak yang paling kalah dalam perang.
Di bawah reruntuhan Gaza, keluarga-keluarga dikubur hidup-hidup. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Ribuan jenazah belum ditemukan, tertimbun puing-puing, menunggu dikenali oleh dunia yang terus berjalan.
Seperti Vietnam yang menyaksikan 12 juta penduduknya terusir dari rumah mereka karena ledakan dan peluru, Gaza juga mengalami pengusiran dalam bentuk yang lebih sempit namun lebih sesak.
Lebih dari 90% warga mengungsi di dalam wilayah Gaza sendiri, tidur di atas tanah, tanpa atap, setelah lebih dari 150 ribu rumah hancur rata. Tempat tinggal kini menjadi kemewahan, dan kata “rumah” hanya tinggal kenangan.
Di Vietnam, perang tak hanya menghancurkan kota, tapi juga menumpahkan racun di ladang-ladang, membuat kelaparan jadi senjata. Gaza pun begitu: pintu-pintu bantuan ditutup rapat, makanan menjadi barang langka, air bersih lebih berharga dari emas.
PBB memperingatkan: seluruh warga Gaza—lebih dari dua juta jiwa—kini berada di ambang bencana kelaparan. Setiap keluarga menghadapi tingkat kelaparan ekstrem karena pengepungan dan larangan distribusi bantuan kemanusiaan.
Perbandingan ini menyuarakan kenyataan pedih: dalam setiap perang, korban sipil selalu jadi narasi yang berulang. Mereka dihancurkan, diusir, dilaparkan, dan dibungkam.
Namun dunia tak boleh terus menutup mata.
Tragedi seperti di Gaza bukan sekadar berita duka, tapi panggilan nurani. Sudah waktunya komunitas internasional bergerak, bukan hanya untuk mengutuk, tapi untuk bertindak—melindungi warga sipil, menjamin masuknya bantuan kemanusiaan, dan mengupayakan jalan damai yang menjunjung martabat manusia.

Di Vietnam, lebih dari dua juta orang meninggal selama dua dekade, sementara di Gaza, jumlah korban telah melampaui 51 ribu hanya dalam hitungan bulan. (Sumber: AFP)

Perbandingan ini menunjukkan bahwa kebijakan kelaparan dan penghancuran bukanlah pengecualian, melainkan pola yang terus berulang (Associated Press).

Lebih dari 60% bangunan di Jalur Gaza telah rata dengan tanah (Al Jazeera).

Mesin perang menggandakan kembali adegan pengungsian, kematian, dan kelaparan—meski geografisnya berbeda (Associated Press).

Di Gaza, warga sipil telah menjadi sasaran langsung perang, di tengah serangan yang tak membedakan antara anak-anak dan perempuan, rumah dan rumah sakit (Reuters).

Di Vietnam, perang memaksa jutaan penduduk mengungsi dari desa-desa mereka, hingga mengosongkan seluruh wilayah di bawah gempuran bom (Associated Press).

Di Gaza, lebih dari 1,9 juta warga Palestina terpaksa mengungsi dalam salah satu gelombang eksodus terbesar dalam sejarah konflik (Al Jazeera).

Blokade menjadi senjata militer dalam kedua perang, dengan sengaja memutus pasokan kebutuhan vital (Getty).

Masyarakat internasional dituntut untuk mengambil langkah nyata dalam melindungi warga sipil dan memastikan bantuan kemanusiaan bisa masuk (AFP).

Konflik harus diselesaikan melalui cara menghormati hak asasi manusia dan menghadirkan keadilan bagi mereka yang tertindas (Associated Press).