Majalah Responsible Statecraft yang terbit di Amerika Serikat menggambarkan agresi Israel di Gaza bukan sebagai perang, melainkan sebagai operasi sepihak yang menyasar warga sipil dan kehidupan mereka, dalam rangka memuluskan pengusiran massal dengan dukungan kekuatan militer yang timpang.
Dalam artikel yang ditulis Paul R. Pillar, analis senior dari Quincy Institute for Responsible Statecraft, ditegaskan bahwa harapan akan gencatan senjata kian memudar. Delegasi Israel dan Amerika Serikat dilaporkan mundur dari perundingan di Qatar, sementara Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terus mengumbar narasi soal “alternatif” demi meraih apa yang disebutnya sebagai kemenangan total atas Gaza.
Pillar menyebut bahwa laporan dari lapangan bukan lagi tentang pertempuran militer, melainkan tentang pembantaian harian yang merenggut nyawa sekitar 150 warga sipil per hari. Kelaparan mematikan kian meluas, sementara Israel terus menyebar tuduhan terhadap Hamas mencuri bantuan, klaim yang bahkan tidak didukung oleh militer Israel sendiri.
UNRWA: Simbol Pengakuan Dunia
Pillar menegaskan bahwa krisis kelaparan yang melanda Gaza adalah dampak langsung dari blokade Israel, yang juga secara sengaja meminggirkan peran UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina. Israel menuduh UNRWA bersekongkol dengan Hamas, namun di balik itu tersembunyi motif politik: keberadaan UNRWA adalah simbol pengakuan global atas masalah pengungsi Palestina, sesuatu yang ingin dihapuskan Israel.
Sebagai pengganti, Israel menawarkan sistem distribusi bantuan yang bersifat menghukum. Bantuan hanya diizinkan masuk lewat titik-titik tertentu, memaksa penduduk berkerumun di lokasi yang menyerupai kamp konsentrasi. “Ini bagian dari strategi pembersihan etnis,” tulis Pillar, “untuk menciptakan alasan pemindahan penduduk secara paksa dari Gaza.”
Sementara itu, pertunjukan menjatuhkan bantuan dari udara hanyalah ilusi kemanusiaan yang tak efektif. “Ia hanya menenangkan hati nurani internasional, sementara ratusan truk bantuan dilarang masuk dan bahkan dihancurkan oleh pasukan Israel sendiri,” lanjutnya.
Target Bukan Lagi Hamas, Tapi Seluruh Penduduk
Menurut Pillar, strategi militer Israel tak ditujukan untuk bernegosiasi, tetapi untuk melenyapkan lawan, secara fisik. Kini, sasaran itu bukan hanya Hamas, tetapi seluruh rakyat Gaza yang dianggap sebagai musuh kolektif. Netanyahu sendiri secara terbuka menyatakan bahwa membunuh pimpinan Hamas dan menguasai “seluruh wilayah Gaza” adalah bagian dari misi kemenangan yang harus diraih sebelum menghentikan perang.
“Dalam situasi seperti ini,” ujar Pillar, “mengharapkan solusi diplomatik adalah ilusi.” Netanyahu memiliki kepentingan pribadi dalam memperpanjang perang: menghindari sidang korupsi dan mempertahankan koalisi sayap kanan yang menolak gencatan senjata.
Padahal, kata Pillar, Hamas sudah menunjukkan fleksibilitas besar dalam perundingan di Qatar. Mereka menerima sebagian besar isi kesepakatan yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir, hanya meminta jaminan kemanusiaan dan kejelasan posisi pasukan Israel, serta pembebasan sejumlah tahanan Palestina.
Narasi AS: Menyalahkan Korban
Namun, tanggapan Israel dan AS adalah penarikan diri dari negosiasi. Donald Trump bahkan menuduh Hamas “mencari kematian.” Ini adalah cermin dari narasi pro-Israel yang sudah mengakar kuat di kebijakan luar negeri AS, yang terus menuduh perlawanan Palestina sebagai sumber kekerasan, bukan sebagai akibat dari pendudukan brutal selama puluhan tahun.
Pillar mengingatkan bahwa Netanyahu sendiri pernah mendukung keberadaan Hamas, sebagai bagian dari taktik “divide and conquer” untuk melemahkan Otoritas Palestina, lalu mengklaim “tak ada mitra untuk berdialog.”
Kesimpulan: Ini Bukan Perang, Ini Penghancuran Bangsa
Di akhir tulisannya, Pillar menegaskan bahwa apa yang terjadi di Gaza bukanlah perang antara dua kekuatan bersenjata, melainkan upaya sistematis untuk menghancurkan sebuah bangsa, dengan restu politik dan diplomatik dari Amerika Serikat.