Sejak fajar menyingsing, Umm Muhammad At-Tallalqah, seorang perempuan Palestina berusia 55 tahun, melangkah tertatih ke dapur umum (takyah) di kota Nuseirat, tengah Jalur Gaza. Harapannya sederhana: mendapatkan satu porsi makanan untuk mengganjal perutnya dan anak-anaknya yang kini tinggal di tenda usai rumah mereka hancur dihantam bom Israel.
Dalam antrean panjang yang dipenuhi lelah dan lapar, Umm Muhammad berdiri sambil memegang wadah makanan. Ia berkata bahwa butuh lebih dari empat jam menunggu hanya untuk memperoleh sepiring nasi sederhana.
Namun kisah Umm Muhammad bukan satu-satunya. Di seluruh Gaza, dapur-dapur sukarela yang menyajikan sup dan nasi menjadi pemandangan harian. Jumlah warga yang kelaparan terus meningkat, sementara bahan makanan terus menyusut akibat blokade ketat Israel, penutupan semua jalur distribusi, dan hancurnya rantai pasok.
Di dalam tenda sempitnya, Umm Muhammad duduk bersama cucunya, memanaskan makanan dengan bara arang seadanya. Ia membagi makanan dengan cermat, seimbang, dan penuh kasih kepada anak-anak serta cucunya—semua hanya cukup untuk satu orang, namun dibagi untuk banyak.
“Ini satu-satunya makanan kami sepanjang hari. Tak ada roti, tak ada daging, tak ada buah. Padahal anak-anak butuh asupan gizi yang seimbang. Tapi yang kami punya cuma piring nasi atau lentil ini,” tuturnya.
Seperti banyak warga Gaza lainnya, Umm Muhammad menyebut kelaparan yang mereka alami bukan kebetulan. Ia menyebutnya sebagai “kebijakan kelaparan”—senjata lain dari pendudukan yang bukan hanya mengepung tanah mereka, tapi juga menggencet kehidupan mereka. “Kami hidup dalam kelaparan yang nyata,” tegasnya.
Perempuan yang mengungsi dari Beit Lahiya di utara Gaza ini mengaku telah kehilangan sekitar 20 kilogram berat badannya dalam beberapa bulan terakhir. Ia menyerukan kepada dunia Arab, negara-negara Islam, dan seluruh hati nurani dunia untuk bangkit membela Gaza. “Kami hanya ingin hidup dengan martabat,” ujarnya lirih.
Di balik reruntuhan dan abu, Umm Muhammad berdiri tegak sebagai simbol keteguhan perempuan Palestina—menolak menyerah pada rasa lapar, derita, dan pengepungan. Dalam tiap sendok makanan sederhana, ada harapan untuk bertahan hidup satu hari lagi.






Sumber: Al Jazeera, Reuters