Sari Bashi, mantan Direktur Program Human Rights Watch dan penulis buku “Love Under Occupation”, menulis dalam The New York Times bahwa hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina bukanlah mimpi usang. Meski sulit dibayangkan setelah puluhan tahun pengusiran dan kekerasan brutal, mereka tetap memiliki hak legal untuk pulang (sekarang maupun kelak) berdasarkan hukum internasional.
Lewat kisah pribadi, Bashi menceritakan tentang Fatimah, ibu mertuanya yang kini berusia 82 tahun. Ia diusir dari kampung halamannya di Asdod pada 1948, saat pasukan Israel mengusir ribuan warga Palestina dari tanah mereka. Ia mengungsi bersama orang tua dan tetangganya ke Gaza, sebuah pengungsian yang menjadi awal dari keterasingan panjang.
Fatimah menikah di usia 13 dengan sesama pengungsi. Rumah pertamanya di Gaza dihancurkan oleh buldoser Israel. Ia membangun kembali rumah di tanah yang diberikan oleh Otoritas Palestina pada 1990-an. Namun sejarah kembali berulang: pada 13 Oktober 2023, militer Israel memerintahkan semua warga Gaza utara (termasuk Fatimah) untuk meninggalkan rumah mereka. Ia kini berada di Mesir, tak tahu akan ke mana setelah visa tinggalnya habis.
Kini, otoritas Israel merancang rencana untuk mengusir lebih banyak warga Palestina, dengan menjadikan reruntuhan Rafah sebagai “kota kemanusiaan”. Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, bahkan terang-terangan menyebut bahwa semua warga Gaza pada akhirnya akan dipusatkan di sana dan tidak akan diizinkan kembali ke wilayah asal mereka.
Sebagai seorang Yahudi Amerika-Israel yang telah tinggal di Israel dan Tepi Barat sejak 1997, Bashi mengaku tak terkejut, meski tetap terguncang. Menurutnya, pemindahan paksa, kelaparan yang dijadikan senjata, serta kekerasan sistemik terhadap warga sipil Palestina bukanlah insiden terisolasi, melainkan konsekuensi langsung dari kebijakan demografis yang ingin mempertahankan dominasi Yahudi di Palestina historis.
“Logika seperti ini,” tulis Bashi, “telah lama dipakai untuk membenarkan kekerasan struktural,sebuah permainan nol-sum di mana kekuasaan satu pihak selalu mengorbankan kemanusiaan pihak lain.”
Dalam komunitas Yahudi Amerika tempat Bashi dibesarkan, para rabi dan guru mengajarkan bahwa menghormati hak kembali bagi para pengungsi Palestina (yang kini berjumlah lebih dari enam juta jiwa) berarti mengakhiri Israel sebagai negara berpenduduk mayoritas Yahudi. Sebuah narasi ketakutan yang diwariskan turun-temurun.
Namun hukum internasional bicara lain. Resolusi PBB 194 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menjamin hak siapa pun untuk kembali ke tanah asalnya, bahkan jika kedaulatan wilayah telah berganti. Itu termasuk Fatimah, anak-anaknya, cucu-cucunya, bahkan cicit-cicitnya.
“Bayangan tentang kembalinya para pengungsi Palestina memang terasa mustahil,” tulis Bashi, “tetapi jika itu terjadi, justru akan membuka jalan bagi transformasi: dari sistem apartheid yang menindas menjadi tatanan demokratis yang menjunjung kesetaraan dan kebebasan.”
Sebanyak 1,6 juta warga Gaza saat ini adalah keturunan pengungsi 1948. Mereka memiliki hak untuk hidup di atas tanah yang pernah menjadi rumah nenek moyang mereka, tanah yang kini berada dalam wilayah yang disebut Israel, namun telah dijarah dan ditutup aksesnya selama tiga perempat abad.
“Yang kita bicarakan ketika menyebut hak kembali,” simpul Bashi, “bukan hanya sejarah dan hukum. Kita sedang bicara tentang masa depan: apakah kita akan terus memilih dominasi, ataukah kita punya keberanian untuk memilih keadilan.”