Badai musim dingin yang melanda Jalur Gaza menyebabkan 14 warga Palestina syahid dalam waktu kurang dari 24 jam, termasuk tiga anak, akibat hipotermia, dan memicu runtuhnya sejumlah bangunan yang sudah rapuh akibat perang sebelumnya, menurut laporan kantor berita WAFA.

Hujan deras, angin kencang, dan suhu beku menerpa tenda-tenda dan terpal yang menjadi tempat tinggal sementara ribuan keluarga. Menurut badan kemanusiaan PBB, keluarga yang sudah rentan kini menghadapi risiko kematian yang lebih besar. Seorang pengungsi menggambarkan ketakutannya: “Kami kedinginan dan takut tenda kami roboh setiap malam.”

Kementerian Dalam Negeri Gaza mencatat 12 insiden runtuhnya bangunan sejak badai melanda, yang menewaskan delapan orang dan melukai beberapa lainnya, termasuk korban yang masih tertimbun reruntuhan.

Seorang petugas layanan darurat berkata, “Kami menerima ribuan panggilan, tapi tim penyelamat kami terbatas dan sulit menjangkau semua lokasi karena kondisi ekstrem.”

Di Kota Gaza dan Gaza Utara, setidaknya 13 rumah runtuh, sementara total bangunan rusak akibat bom dan hujan kini mencapai 16 unit. Dampak badai juga menghantam pengungsi secara masif: lebih dari 27.000 tenda rusak atau terendam banjir, memengaruhi sekitar 250.000 warga yang hidup di tempat tinggal darurat tak layak.

Meski gencatan senjata berlaku sejak 10 Oktober 2025, kondisi kehidupan warga Gaza belum membaik. Seorang ibu pengungsi menuturkan, “Kami selamat dari perang, tapi sekarang harus bertahan hidup dari dingin dan banjir di tempat kami yang rapuh.”

Badai musim dingin kali ini menegaskan bahwa bagi warga Gaza, bertahan hidup adalah perjuangan setiap hari, melawan konflik dan alam yang kejam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here