Perang di Gaza mungkin telah berhenti, tetapi bagi para tentara Israel, pertempuran baru dimulai di dalam diri mereka sendiri. Mereka membawa luka fisik dan psikologis, terjebak dalam diam, kemarahan, dan kenangan yang menghantui.

Dalam laporan lapangan Le Figaro, jurnalis Najat Chareqi menyoroti penderitaan tentara Israel pasca-Gaza. Salah satu tentara, Yisrael Hayat, menggambarkan keputusasaan yang ekstrem: “Salah satu impian saya adalah menerima peluru di kepala. Saya mayat yang berjalan. Saya bukan lagi manusia yang hidup.”

Setelah dibebaskan dari dinas, Hayat, yang kini tidak layak militer dan menderita PTSD, berdiri di depan anggota Knesset untuk menjeritkan rasa sakitnya, menegaskan bahwa ia kini tidak lagi layak hidup normal.

Dia menceritakan: “Apakah kalian tahu rasanya mengangkat jasad teman? Setiap kali duduk, saya melihat mayat-mayat itu, melihat teman-teman saya meledak di depan mata. Saya mencoba bunuh diri setiap hari. Dokter memberi saya 15 pil sehari, dosis yang cukup untuk menidurkan seekor kuda. Tolong, rawatlah kami.”

Hayat menambahkan kritiknya terhadap politikus Israel: “Logis jika dunia menganggap kami ekstremis, tapi itu salah. Saya punya nilai, saya tidak memilih kebencian. Sayangnya, politisi yang memerintah kami tidak mewakili realitas rakyat Israel. Netanyahu membuat negara kami terlihat seperti iblis.”

Laporan ini juga menyoroti data militer: lebih dari 500 ribu tentara Israel dikerahkan selama dua tahun perang, dengan 916 tewas dan 6.300 luka-luka. Usia 25 tahun, Yoav, yang menyaksikan perang secara langsung, menegaskan bahwa ia tidak meragukan alasan konflik, tetapi mengkritik keputusan politik yang memperpanjang konflik demi kekuasaan.

Yoav mengungkapkan gejala trauma yang dialami: kecemasan, kilas balik, dan rasa bersalah karena kembali hidup sementara banyak yang lain tidak. Ia berkata, “Saya tahu ada orang tak bersalah di Gaza. Saya berharap mereka selamat.”

Kini, tentara-tentara ini berjuang agar kasus seperti mereka mendapat pengakuan dan penanganan serius, karena luka psikologis mereka sesungguhnya tak kalah berat dibandingkan korban sipil yang mereka hadapi di medan perang.

Sumber: Le Figaro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here