Langkah ekspansionis Israel di Tepi Barat bukan sekadar ambisi kolonial biasa, ia adalah proyek sistematis untuk mewujudkan supremasi penuh atas tanah Palestina, sembari menggusur penduduk aslinya secara perlahan namun pasti.
Sejak kekalahan Arab dalam Perang 1967, wacana pencaplokan Tepi Barat mengendap dalam strategi Zionis sebagai jalan untuk mengubah peta secara sepihak, menghapus batas, menghilangkan hak, dan menanamkan ide bahwa tanah Palestina adalah bagian utuh dari “Negara Yahudi” dengan dalih keamanan dan warisan teologis.
Konsep “pencaplokan” di sini bukan hanya tentang penguasaan wilayah. Ia adalah pengumuman sepihak dari negara pendudukan bahwa tanah yang diakui dunia sebagai wilayah Palestina, kini menjadi milik resmi Israel. Tak ada negosiasi. Tak ada kesepakatan. Hanya hegemoni yang dipaksakan dengan bulldozer dan senjata.
Ahli hukum menyebut penerapan hukum Israel atas tanah yang diduduki sebagai bentuk de facto pencaplokan. Hukum militer diganti hukum sipil—tanpa memberi hak setara pada warga Palestina yang justru terjajah di tanah sendiri.
Sejak awal, proyek ini diarahkan pada satu tujuan: menciptakan realitas baru yang mengubur impian kemerdekaan Palestina dan memuluskan mitos “Tanah yang Dijanjikan” yang katanya membentang dari Sungai Nil hingga Sungai Eufrat.
Dari Alon hingga Rotman: Peta Panjang Proyek Pencaplokan
Sejak 1967, berbagai rencana pencaplokan muncul dari para pemimpin Israel, masing-masing menawarkan versi berbeda tentang seberapa banyak wilayah Palestina yang harus dijadikan bagian dari Israel. Dari Rencana Alon yang ingin mencaplok Lembah Yordan, hingga proposal terbaru yang disahkan oleh Knesset pada Juli 2025 yang menyerukan “kedaulatan penuh” atas seluruh Tepi Barat.
Yang membedakan hanyalah kecepatan dan metode, tujuannya tetap satu: memperluas wilayah, menghapus Palestina dari peta, dan mempermanenkan apartheid dalam wujud hukum.
Di Balik Pencaplokan: Ideologi, Keamanan, dan Ambisi Politik
Motif pencaplokan bukan hanya strategi geopolitik, tapi juga ideologi yang membalut hasrat ekspansionis. Bagi kaum ekstremis agama di Israel, Tepi Barat adalah bagian dari “Eretz Yisrael”, tanah suci yang tak boleh dikompromikan. Di sisi lain, militer Israel melihat dataran tinggi Tepi Barat sebagai posisi strategis yang harus diamankan demi mempertahankan dominasi.
Sementara itu, para pemimpin politik seperti Netanyahu dan Bennett menjadikan isu ini sebagai komoditas elektoral, menggaet dukungan sayap kanan dan menyulap proyek kolonialisme menjadi “prestasi nasional”.
Dampak Pencaplokan: Dari Fragmentasi Tanah hingga Penghapusan Identitas
Di lapangan, pencaplokan berarti satu hal bagi rakyat Palestina: penderitaan yang tak kunjung henti. Rumah-rumah dirobohkan, kota-kota dipecah oleh jalan-jalan khusus pemukim, izin tinggal dicabut, akses tanah dibatasi, dan kehidupan dijajah oleh birokrasi rasis yang tak memberi ruang bernapas.
Bagi para pemukim Israel, pencaplokan justru memberi kenyamanan: mereka tak lagi diatur hukum militer, tetapi dilayani penuh oleh sistem sipil Israel, seolah tinggal di Tel Aviv, bukan di tanah yang dirampas.