Rumah Sakit Al-Shifa mencatat enam nyawa melayang dalam sehari terakhir (satu di antaranya seorang anak kecil) semua berpulang bukan karena bom, tapi karena perut kosong. Dalam 24 jam, total korban meninggal akibat kelaparan di seluruh Gaza mencapai 14 jiwa.
Direktur RS Al-Shifa, Dr. Muhammad Abu Salmiya, menyebut tragedi ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebuah bukti nyata bahwa manusia bisa mati karena tak mampu menemukan secuil roti di tanahnya sendiri.
“Ini bukan kelaparan biasa. Ini genosida lewat kelaparan,” ujarnya dengan suara yang nyaris patah.
Yang gugur hari itu tak hanya anak-anak. Ada pula perempuan dan pria muda, mereka datang ke rumah sakit lima hari lalu dalam kondisi mengenaskan, namun tak ada yang bisa menyelamatkan. Bahkan tim medis pun hanya bisa menyaksikan.
Salah satu cerita paling mengguncang adalah tentang seorang anak lima tahun yang diberi ibunya air rebusan rumput, karena tak ada susu, tak ada makanan, bahkan air bersih pun tak tersedia. Air susu sang ibu telah kering, dan rumput itu berubah menjadi racun yang merenggut nyawa sang anak.
Bagi Abu Salmiya, kisah ini mencerminkan kedalaman keputusasaan para ibu Palestina, yang terus mencoba mempertahankan kehidupan anak-anak mereka di tengah kehancuran.
Sejauh ini, sudah 147 warga Gaza syahid akibat kelaparan. Tapi angka ini, kata Abu Salmiya, “jauh dari kenyataan.” Sebab ratusan lainnya meninggal dalam tenda-tenda pengungsian dan reruntuhan rumah, tanpa sempat dicatat atau didiagnosa. Mereka mati dalam diam, tak masuk berita, tak tertulis dalam laporan, kecuali dalam duka yang membatu.
Abu Salmiya juga menyoroti bantuan internasional yang disebut-sebut “mengalir” ke Gaza. Ia menyebut itu semua hanya debu di mata publik, sebab yang benar-benar sampai hanyalah sejumlah kecil tepung, yang tak sanggup mengobati kelaparan, kekurangan gizi, atau penyakit akibat tubuh yang melemah.
Lebih parah lagi, distribusi bantuan tak merata, sebagian besar diserobot oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab karena ketiadaan sistem distribusi yang adil.
Kelaparan kini menjalar ke ranjang-ranjang rumah sakit. Para pasien yang baru saja menjalani operasi gagal sembuh karena tubuh mereka tak cukup kuat untuk pulih. Luka yang semestinya sembuh dalam lima hari berubah jadi infeksi mematikan karena gizi yang tak ada. Beberapa bahkan wafat, meski operasinya berhasil.
Krisis susu bayi juga menjadi mimpi buruk terbesar Gaza saat ini. Ribuan bayi di ambang kematian. Para ibu yang kekurangan gizi tak bisa menyusui, dan terpaksa memberi air atau ramuan herbal yang justru mempercepat risiko kematian.
Menurut Abu Salmiya, dampak dari krisis ini bukan hanya untuk hari ini. “Kita sedang mencetak generasi yang akan tumbuh dengan cacat fisik, gangguan kognitif, bahkan autisme, karena malnutrisi parah pada usia pertumbuhan.”
Peringatan demi peringatan datang dari dunia. WHO menyebut situasi ini sebagai “kelaparan massal buatan manusia.” Namun di saat yang sama, 6.000 truk bantuan dari PBB masih tertahan di perbatasan Gaza. Israel menolak membiarkannya masuk.
Di tengah reruntuhan yang menumpuk dan bau kematian yang pekat, Gaza terus menjerit, dan dunia, seperti biasa, memilih diam.