Spirit of Aqsa, Palestina- Para murabith di Jalur Gaza menghadapi perjuangan baru yakni melawan musim dingin. UNWRA menyebut para murabith di Jalur Gaza sebagai pengungsi internal, artinya mereka berkumpul di lokasi pengungsian sayap PBB maupun pengungsian mandiri di beberapa tempat.
Mereka membangun tenda-tenda kecil sebagai tempat berlindung untuk menghindari kejahatan perang teroris Israel yang mengebom rumah penduduk sipil. Mayoritas murabith berangkat ke tempat pengungsian tanpa membawa bekal memadai, termasuk pakaian musim dingin.
Isaad Abdullah, murabith dari Kota Gaza, Jalur Gaza Utara berangkat ke Kota Rafah, ujug selatan Jalur Gaza karena diklaim aman oleh teroris Israel. Naasnya, dia tidak bisa membawa bekal lantaran pengeboman terjadi di mana-mana. Satu-satunya yang dipikirkan Isaad saat itu adalah menyelamatkan keluarga dari ancaman kematian.
“Kami mengungsi selama dua hari dan kami akan kembali, dan sebulan telah berlalu sejak kami mengungsi,” kata Issad dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Kamis (23/11).
Awal mengungsi, Isaad berencana hanya tinggal dua hari saja di Kota Rafah lalu kembali ke Kota Gaza untuk bergabung dengan para murabith di sana. Tapi itu tidak memungkinkan. Perjalanan ke selatan ke utara sama saja menyetor nyawa.
“Tidak terpikir oleh saya bahwa pengungsian kami akan berlangsung selama ini, lebih dari sebulan sejak kami terpaksa meninggalkan rumah kami,” ujarnya.
Issad bersama suami, keempat anaknya hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan mengenakan pakain tipis. Tidak ada persediaan pakaian musim dingin.
Issaad terpaksa “membungkus” putra bungsunya, Ahmed (2 tahun), dengan selimut agar tetap hangat pada jam-jam malam yang sangat dingin. Apalagi, sekolah UNWRA tempat dia mengungsi tidak memiliki alat pemanas ruangan. Sementara, para pria berkumpul di halaman sekolah menyalakan api untuk menghangatkan badan.
Selama dua hari terakhir, cuaca musim dingin yang buruk telah menimpa para pengungsi di sekolah-sekolah. Pasar-pasar mulai ramai untuk mencari pakaian musim dingin. Tetapi, stok yang tersedia pun sangat terbatas.
Setelah seharian penuh di pasar, Isaad hanya membeli dua potong pakaian untuk anaknya, Ahmed, yang sedang sakit. Ahmed menggigil setiap malam dan hanya dibungkus dengan selimut untuk mengatasi hal tersebut.
Dingin, Lapar dan Haus
Rumah Muhammad Al-Masry berjarak 10 kilometer dari sekolah tempatnya mengungsi di Rafah. Namun, dia tidak berani kembali ke sana untuk membawa perbekalan dan pakaian musim dingin. “Bagaimana kami bisa membawa barang bawaan sejauh itu? Kami hanya meminta keselamatan kepada Allah dalam hidup kami.”
Muhammad dan keluarganya tinggal bersama ribuan orang. Kebanyakan dari mereka berasal dari lingkungan Al-Zaytoun dan kota Beit Hanoun di Jalur Gaza utara.
“Kami menjalani kehidupan yang tragis tanpa ada (persediaan) kebutuhan pokok apa pun. Kami menderita kedinginan, kelaparan, dan kehausan. Kami menghabiskan dua malam pertama di lantai, dengan perempuan dan anak-anak di dalam ruang kelas, sementara aula sekolah dipenuhi oleh laki-laki, di tengah suasana musim dingin yang sangat dingin,” kata Muhammad.