Tragedi kemanusiaan di Gaza terus berlangsung tanpa jeda. Dalam 24 jam terakhir, dua warga Palestina kembali syahid akibat kelaparan dan kekurangan gizi. Total korban yang syahid karena kelaparan kini mencapai 159 jiwa, 90 di antaranya adalah anak-anak.
“Setiap jam, anak-anak Gaza meninggal dunia,” demikian peringatan keras dari UNICEF. Sementara itu, badan-badan PBB menyebut Gaza kini berada di ambang bencana kelaparan yang tidak lagi bisa dicegah tanpa lonjakan besar bantuan.
Adel Madhi (27), warga Rafah, dan Karam al-Jamal, seorang pemuda dari kamp Nuseirat, meninggal karena tubuh mereka tak lagi sanggup menahan derita kelaparan akut. Laporan rumah sakit menunjukkan bahwa angka kematian terus meningkat seiring kian langkanya makanan dan bantuan medis.
Direktur Kementerian Kesehatan Gaza, Dr. Munir al-Bursh, menyebut lebih dari 1.300 warga syahid ditembak saat mengantri bantuan. “Mereka syahid di ‘perangkap maut’, dibunuh karena berharap mendapat sepotong roti,” ujarnya kepada Al Jazeera.
WHO memperingatkan, “Skenario terburuk kelaparan kini menjadi kenyataan. Warga Gaza tidak makan berhari-hari. Beberapa dari mereka meninggal karena tubuhnya tidak mampu bertahan dari kekurangan gizi ekstrem.”
WFP pun menggemakan alarm yang sama: “Kami tidak punya waktu lagi. Diperlukan setidaknya 100 truk bantuan setiap hari agar bisa menyelamatkan nyawa.” Namun bantuan itu tetap tertahan. UNICEF menyebutkan bahwa berton-ton makanan bergizi masih mengendap di perbatasan, tak diizinkan masuk.
“Mereka mati kelaparan,” tegas David Miliband, Ketua Komite Penyelamatan Internasional (IRC). Ia menuding Israel sebagai pihak yang menghalangi masuknya ribuan ton bantuan yang sangat dibutuhkan, termasuk makanan khusus anak-anak dan obat-obatan darurat. Selama April dan Mei lalu, tak satu pun bantuan mereka diizinkan masuk.
Miliband menambahkan, “Gaza membutuhkan 60 ribu ton bantuan setiap bulan. Dalih Israel soal penyalahgunaan bantuan tak terbukti. Solusinya sederhana: izinkan bantuan masuk dan buka akses perdagangan.”
Namun tragedi tak berhenti di situ. Tudingan keras kini dialamatkan kepada lembaga bernama “Gaza Relief Foundation”, yang disebut-sebut menjadi ‘wajah kemanusiaan’ namun justru memperparah genosida.
Dalam pernyataan resmi, organisasi sipil di Gaza menuntut lembaga tersebut diadili atas perannya dalam membunuh lebih dari 1.500 warga yang sedang mengantri bantuan. “Pusat distribusi bantuan yang mereka dirikan di zona merah berubah menjadi kamp-kamp maut dan penahanan,” ungkap mereka.
Disebutkan pula bahwa sejak lembaga yang didukung penuh oleh AS dan Israel itu mengambil alih pendistribusian bantuan pada Mei lalu, lebih dari 800 warga gugur ditembak di sekitar pusat distribusi, termasuk oleh para kontraktor bersenjata yang bekerja sama dengan lembaga tersebut.