Spirit of Aqsa, Palestina- Dokter Muhammad Madi dan keluarganya sudah berada di Sekolah Umum Al-Quds, Kota Rafah, Jalr Gaza selatan selama dua pekan. Satu-satunya yang membedakan dr Madi dengan para murabith yang turut mengungsi di tempat itu adalah jas putih dokter.
Dokter Madi hanya memiliki selimut sederhana untuk melindungi keluarganya dari hawa dingin yang menusuk. Kondisi ini dirasakan semua para murabith lantaran tidak memiliki pakaian musim dingin. Umumnya, mereka terpaksa meninggalkan rumah tanpa membawa bekal cukup.
Misalnya para murabith dari Jalur Gaza utara ke Jalur Gaza selatan harus menempu jarak puluhan lebih dengan berjalan kaki. Membawa banyak barang tentu bukan pilihan. Selain itu, banyak murabith yang tak memiliki sisa-sisa harta karena habis kena bom dari teroris Israel.
Hal ini yang membuat kehidupan para murabith kian sulit saa musim dingin tiba. Hanya pakaian seadanya dan harus melawan hawa dingin yang menusuk, terutama pada malam hari. Ini pula yang dirasakan dr Madi dan rekan-rekannya di Kota Rafah.
Kendati begitu, dr Madi bersama rekan-rekan dokter lain terus bergerilya merawat para korban luka. Dia awalnya salah satu dari puluhan dokter di Rumah Sakit Al-Rantisi, Kota Gaza, Jalur Gaza utara. Namun, militer teroris Israel mengepung rumah sakit tersebut dengan tank dan kendaraan tempur lalu memaksa mereka mengungsi ke Jalur Gaza selatan.
“Kami terpaksa mengungsi dari rumah sakit, setelah kami menolak selama berhari-hari untuk mengevakuasi rumah sakit tersebut tanpa orang yang sakit dan terluka, dan sekitar 2.000 warga sipil yang mengungsi berlindung di dalamnya,” kata dr Madi dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Kamis (23/11).
Setelah diusir dari Rumah Sakit Al-Rantisi, dr Madi bersama beberapa rekan lain berangkat ke Kota Rafah. Salah satu rekan yang ikut dalam rombongan itu adalah Mahmoud Barda. Meski memiliki pengalaman pahit, para dokter yang tiba di Kota Rafah tak menghentikan misi medis kemanusiaan. Lebih dari 300 ribu murabith di Sekolah Umum Al-Quds.
Para dokter dan perawat di sekolah tersebut mengubah sebuah ruangan kecil menjadi klinik darurat. Ruangan itu awalnya dapur. Setelah disulap menjadi klinik, para dokter memberikan layanan perawatan medis dasar kepada ribuan orang di tempat tersebut.
Meski hanya klinik kecil, namun sangat berarti bagi para pengungsi. dr Madi mengungkapkan, klinik kecil bisa mengurangi beban Rumah Sakit Abu Youssef Al-Najjar, satu-satu rumah sakit di Kota Rafah. Mereka memberikan perawatan primer kepada para pasien.
Meski perlengkapan dan obat-obatan sangat terbatas, namun dr Madi dan rekan-rekannya menangani puluhan kasus tiap hari. Banyak pengungsi yang menderita gastroenteritis, infeksi dada, dan penyakit kulit seperti kudis dan cacar.
“Semua penyakit ini disebabkan oleh kepadatan penduduk yang parah, rendahnya tingkat kebersihan, kurangnya air minum, dan kurangnya fasilitas yang memenuhi syarat di pusat penampungan di sekolah untuk menerima pengungsi dalam jumlah besar, yang sebagian besar adalah anak-anak, perempuan, dan orang tua,” ujar dr Madi.
Sumber: Al Jazeera