Gaza kembali berduka. Dalam tempo 12 jam, militer Israel membunuh 104 warga Palestina melalui rentetan serangan udara intensif di berbagai wilayah Jalur Gaza. Alasan yang dikemukakan (seperti biasa) adalah “balasan” atas tewasnya seorang tentara Israel oleh penembak jitu di Rafah, kota yang justru berada di bawah kendali penuh pasukan pendudukan. Ironisnya, agresi ini terjadi hanya sepuluh hari setelah gelombang serangan serupa yang menyebabkan 48 warga Palestina syahid, juga dengan dalih yang sama.

Sejak gencatan senjata diumumkan pada 10 Oktober, pelanggaran demi pelanggaran terus dilakukan. Lebih dari 200 warga Palestina telah gugur dan 400 lainnya luka-luka. Para pengamat menilai Israel sengaja memilih waktu-waktu tertentu untuk memperbarui serangannya, dengan motif politik dan militer yang terencana.

Menurut peneliti keamanan Rami Abu Zubeida, militer Israel menjalankan “siklus operasi pembunuhan” berdasarkan intelijen lapangan, di mana target manusia sudah ditentukan sebelumnya. Narasi pelanggaran gencatan senjata oleh Hamas, katanya, hanyalah topeng yang disusun untuk memberi pembenaran politik dan media atas serangan udara.

Tekanan Politik dan Strategi Militer Israel

Abu Zubeida menilai, penggunaan dalih serupa (yakni serangan terhadap tentara di Rafah) merupakan cara Benjamin Netanyahu meredam tekanan politik dalam negeri dan menjaga legitimasi di hadapan Washington.

Dukungan terbuka dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyebut bombardir Israel sebagai “aksi bela diri” telah memberi Netanyahu ruang bebas untuk terus melanggar kesepakatan gencatan senjata tanpa konsekuensi internasional.

Secara militer, Israel berupaya membentuk ulang realitas keamanan di Gaza. Serangan-serangan selektif digunakan untuk melemahkan kelompok perlawanan, menarget tokoh-tokoh yang tak sempat dibunuh saat perang besar, serta menciptakan kondisi yang membuat Gaza terus dalam keadaan genting tanpa harus memicu perang terbuka.

Tekanan dari kubu sayap kanan dan kelompok pemukim ekstremis juga mendorong Netanyahu untuk tampil “keras,” membuktikan dominasinya di hadapan basis politiknya sendiri.

Gencatan Senjata yang Semu

Menurut analis politik Palestina Iyad al-Qara, agresi ini merupakan bagian dari strategi tekanan jangka panjang Israel. Tujuannya bukan sekadar serangan, melainkan penghancuran kapasitas perlawanan dan pencegahan kebangkitan kembali kekuatan militer Gaza.

Dia menegaskan, dalih serangan di Rafah sepenuhnya dikendalikan oleh Israel, wilayah itu dikuasai penuh oleh militernya dan jaringan mata-matanya, sehingga narasi dari pihak Palestina kerap dibungkam sebelum muncul ke publik.

Israel, lanjut al-Qara, memanfaatkan masa tenang untuk memperbarui daftar target serangan, lalu mengaktifkannya ketika kondisi dianggap “menguntungkan”. Pola ini kini menjadi strategi permanen dalam mengelola perang berkepanjangan di Gaza.

Dia juga menyoroti bahwa Netanyahu menunggangi perlindungan politik dari AS, yang sejauh ini gagal bertindak sebagai mediator netral. Sebaliknya, Washington justru berperan sebagai mitra strategis dalam memberi legitimasi atas kejahatan perang yang terus berlangsung.

Menurut al-Qara, inilah alasan mengapa Israel menunda pelaksanaan tahap kedua dari perjanjian gencatan senjata, agar tetap bebas menggempur Gaza tanpa pengawasan internasional.

Dengan dalih “keamanan” dan “pengembalian jenazah tentara Israel”, Tel Aviv terus menahan pembukaan perbatasan, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan rekonstruksi wilayah yang hancur. Gencatan senjata, dalam kenyataannya, tinggal nama, sementara penderitaan rakyat Gaza tak pernah berhenti.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here