Warga Gaza kembali terjerembab dalam ketidakpastian. Di tengah klaim gencatan senjata, serangan Israel terus terjadi secara sporadis, membuat banyak keluarga kehilangan arah, tidak tahu kapan atau apakah mereka benar-benar bisa memulai hidup normal kembali.
“Kami hanya menunggu kesempatan nyata untuk membangun kembali kehidupan kami,” ujar Mazen Shaheen, warga Gaza, kepada Al Jazeera.
“Beberapa minggu setelah perang, kami mulai mencoba berdiri lagi. Tapi gencatan senjata dilanggar, dan belum sempat kami bernapas lega, pelanggaran berikutnya sudah terjadi.”
Salah satu sahabat Shaheen terluka parah dalam serangan terbaru Israel, pelanggaran paling mematikan sejauh ini yang menyebabkan lebih dari 100 orang syahid, termasuk 46 anak. “Kondisinya kini stabil,” katanya lirih.
Namun di balik luka dan debu reruntuhan, Mazen menyuarakan pertanyaan yang menggema di seluruh Gaza: “Di mana jaminan internasional yang dijanjikan itu? Di mana negara-negara penengah yang mengaku menjamin kelangsungan gencatan senjata?”
Ketenangan yang Kembali Hilang
Harapan warga Gaza untuk hidup tenang kembali sirna. Setelah rentetan pelanggaran gencatan senjata oleh Israel, rasa aman yang sempat tumbuh kini berganti dengan ketakutan. Dalam satu hari, seratus warga Palestina (sebagian besar perempuan dan anak-anak) gugur akibat serangan udara brutal yang kembali mengguncang Jalur Gaza.
“Setelah gencatan senjata diumumkan, kami mulai merasa sedikit aman, seolah perang benar-benar telah berakhir. Tapi kini, setelah serangan terbaru ini, rasa tenang itu lenyap. Anak-anak dan perempuan kembali hidup dalam ketakutan,” ujar Hassan Lubbad, warga Gaza, kepada Al Jazeera.
Suha Awad, warga lainnya, menyuarakan keputusasaan serupa. “Kami hanya ingin perang benar-benar berhenti. Kami ingin gencatan senjata yang penuh dan permanen, bukan jeda singkat yang berakhir dengan pemboman dan darah setiap kali,” tuturnya.
Di tengah reruntuhan dan trauma yang belum pulih, suara-suara warga Gaza ini menggema sebagai seruan kemanusiaan: agar dunia tak lagi diam, dan agar “gencatan senjata” tak menjadi sekadar istilah kosong di tengah penderitaan yang tiada henti.










