Spirit of Aqsa- – Di halaman Rumah Sakit Baptis di Kota Gaza, lima wanita dan seorang anak duduk setelah tiba dari Kamp Jabalia, Gaza Utara, pada Selasa, setelah dipaksa mengungsi oleh pasukan pendudukan Israel.
Wanita-wanita ini tampak panik dan berusaha menghubungi kerabat mereka, sehingga sulit untuk diwawancarai oleh wartawan. Salah satu dari mereka, yang enggan menyebutkan namanya, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa beberapa anggota keluarganya dibunuh oleh pasukan Israel di Kamp Jabalia, sementara yang lain ditangkap di pos pemeriksaan di “koridor aman” yang dijanjikan Israel.
Ia menunjuk seorang wanita muda yang menangis sambil memegangi tangan yang terluka. “Mereka menangkap tunangannya, dan dia tidak tahu nasibnya,” tambahnya.
Pasukan Israel memaksa ribuan warga Palestina di pusat-pusat penampungan di Gaza Utara dan di rumah mereka untuk mengungsi pada hari Senin dan Selasa, melalui jalur yang mereka sebut aman. Namun, para pengungsi dari Gaza Utara mengatakan kepada Al Jazeera bahwa jalur tersebut penuh dengan bahaya, banyak yang ditangkap dan sebagian lainnya dibunuh.
Pasukan pendudukan Israel telah melancarkan serangan brutal selama 18 hari, menghancurkan Kamp Jabalia dan wilayah lain di Gaza Utara sejak kembali menyerbu dan mengepung wilayah tersebut pada 6 Oktober 2023.
Para pengungsi menolak perintah untuk bergerak ke selatan dan memilih menuju Kota Gaza dan daerah lain di utara. Mereka mengaku selama beberapa hari terakhir mengalami kelaparan, kehausan, dan ketakutan ekstrem.
Kengerian di Tengah Pengepungan
Nevin Dawwasa, seorang perawat di pusat darurat di Gaza Utara, menceritakan kengerian yang dialaminya saat berada di pusat pengungsian di Kamp Jabalia. Ia mengatakan bahwa pada Senin, pasukan Israel memberi waktu satu jam untuk mengosongkan pusat tersebut, namun mulai membombardirnya hanya 10 menit kemudian, menewaskan 10 orang dan melukai 30 lainnya.
Dawwasa, yang sekarang berada di Kota Gaza, mengatakan ia tidak dapat memberikan pertolongan kepada para korban karena kurangnya peralatan medis. Dalam perjalanannya mengungsi ke Gaza, ia melihat puluhan mayat tergeletak di jalanan.
Ia dengan tegas membantah klaim Israel bahwa jalur evakuasi tersebut aman. “Mereka memisahkan pria dan wanita, menangkap lebih dari 20 pria, termasuk seorang dokter,” ungkapnya. Ia juga mengatakan bahwa tentara Israel memperlakukan wanita dengan penghinaan dan menakut-nakuti mereka.
Dawwasa menambahkan bahwa dalam perjalanannya, ia terkejut melihat kehancuran total di Kamp Jabalia, dengan semua bangunan, menara, dan toko hancur. “Seluruh kamp telah dihancurkan,” ujarnya.
Kisah Pengungsian
Al Jazeera berhasil berbicara dengan Roohi Saleh, seorang kepala keluarga yang sedang mengungsi dari Jabalia. Dalam panggilan telepon, ia mengatakan, “Mereka memaksa kami mengungsi. Kami sekarang berjalan di Jalan Yerusalem, dengan pesawat pengintai mengawasi kami dari atas.”
Meskipun diperintahkan menuju bagian barat Gaza, Saleh mengatakan mereka akan tetap tinggal di Jabalia, berusaha mencapai kerabat mereka yang masih ada di sana. “Tentara Israel mengusir kami dari rumah, memisahkan laki-laki, perempuan, dan anak-anak, dan memaksa kami berjalan menuju barat Gaza,” tambahnya.
Ia juga menyebutkan bahwa keluarganya yang terdiri dari 24 orang menderita kelaparan dan kehausan selama beberapa hari terakhir. Jalan-jalan di Jabalia kosong, dan mereka kesulitan menemukan makanan dan air untuk anak-anak mereka.
Sumber: Al Jazeera