Linimasa media sosial terus dipenuhi dengan reaksi atas tragedi yang menimpa anak-anak Gaza, realitas getir yang tak sesuai dengan usia mereka maupun apa yang seharusnya dijalani pada masa kanak-kanak.

Saat anak-anak di berbagai belahan dunia menikmati keseharian mereka dengan belajar, bermain, dan mendapat kasih sayang keluarga serta layanan kesehatan, anak-anak Gaza dipaksa menghadapi situasi yang tak mungkin ditanggung seorang bocah.

Banyak dari mereka harus mencari makanan dan air, bahkan menggendong saudaranya yang terluka atau gugur, sambil berlari dari maut atau mencari orang tua yang mungkin terkubur di bawah reruntuhan serangan Israel yang menghancurkan rumah-rumah dan memutus denyut kehidupan.

Siaran program Shabakat pada 24 September 2025 menayangkan gambar memilukan: seorang anak kecil menggendong jenazah sepupunya yang berusia 4 tahun untuk dimakamkan. Sebuah pemandangan yang nyaris tak mungkin dijumpai di tempat lain di dunia, kecuali Gaza.

Setengah Penduduk Gaza adalah Anak-Anak

Anak-anak membentuk hampir separuh populasi Gaza—lebih dari satu juta jiwa. UNICEF mencatat, hampir 500 ribu anak di Kota Gaza sendirian kini menderita trauma, kelelahan mental, dan ancaman kelaparan.

Banyak anak, bahkan yang bertubuh kecil, terpaksa memikul karung tepung yang lebih berat dari tubuh mereka sendiri demi memberi makan keluarga, setelah kehilangan orang tua yang menjadi tulang punggung akibat perang.

Data Badan Pusat Statistik Palestina mengungkap, ada 39 ribu anak yatim di Gaza, krisis anak yatim terbesar dalam sejarah modern.

Jika seorang anak terluka akibat serangan Israel, sering kali ia tak menemukan tempat tidur di rumah sakit. Dan jika pun ada, obat-obatan sudah habis karena blokade penuh yang diberlakukan Israel.

“Sebuah Penghancuran Masa Kanak-Kanak”

Pemandangan tragis ini memicu kemarahan luas di media sosial, dengan banyak yang menyebut kondisi di Gaza sebagai “salah satu bentuk penghancuran sistematis masa kanak-kanak di abad ke-21.”

Seorang pengguna bernama Ibn al-Hajj menulis, “Mereka menyiksa rakyat Gaza dengan segala cara. Setiap hari, anak-anak yang polos dihancurkan masa kecilnya. Dunia justru sibuk membungkam suara mereka. Anak-anak memikul kain kafan keluarganya sendiri, siapa sangka ini nyata di abad ke-21? Apa salah mereka?”

Sementara Fatimah menuliskan, “Anak-anak menangisi anak-anak. Betapa kejamnya pemandangan ini. Membuat kita bertanya: masa kanak-kanak macam apa yang dijalani anak-anak Gaza? Luka jiwa macam apa yang ditinggalkan perang Israel ini?”

Pengguna lain, bernama Zimam, menulis, “Di Gaza, ada gambar yang merangkum arti ‘ibu terlalu dini’. Seorang anak perempuan, yang belum merasakan masa kecilnya, justru dipaksa menjadi sosok ibu. Ia memeluk adik-adiknya, mencoba menjadi sandaran mereka di saat-saat paling sulit. Masa kecil yang dirampas, keibuan yang dipaksakan, hati mungil yang dipaksa menghadapi tragedi jauh melampaui usianya.”

Sebuah akun bernama Palestine juga menulis, “Bahu kecil yang dipaksa memikul beban perpisahan. Tas yang lebih besar dari tubuh mereka. Mata anak-anak itu memantulkan ketakutan yang terlalu berat untuk masa kanak-kanak. Di Gaza, pengungsian tak pernah berakhir, mencuri rumah-rumah, merampas kepolosan, dan membuang anak-anak ke pengasingan baru.”

Juru bicara UNICEF, Tess Ingram, menegaskan bahwa anak-anak Palestina yang kelaparan tengah dipaksa pindah ke wilayah selatan Gaza:

“Keluarga dan anak-anak mereka didorong dari satu neraka ke neraka lainnya. Tidak manusiawi untuk mengharapkan hampir 500 ribu anak yang telah mengalami kekerasan dan trauma psikologis mendalam, melarikan diri dari satu neraka hanya untuk jatuh ke dalam neraka yang lain.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here