Sebuah laporan panjang dari harian ekonomi Israel Calcalist membuka fakta yang sulit dibantah: Israel kini tengah menghadapi apa yang disebut para pakar sebagai “blokade global yang sunyi”. Tidak ada deklarasi resmi, tidak ada embargo formal. Tetapi dampaknya nyata, penundaan kontrak, pembekuan investasi, pemutusan hubungan dagang, boikot akademik, hingga keengganan perusahaan asing sekadar menjawab korespondensi dari mitra Israel.
Blokade Tanpa Deklarasi
Menurut laporan itu, perang berkepanjangan di Gaza beserta krisis kemanusiaan yang menyertainya membuat perusahaan dan negara memilih menjauh dari Israel secara tidak resmi. Bentuknya beragam: mulai dari penolakan sertifikasi produk, batalnya pertemuan bisnis, hingga larangan kapal Israel berlabuh di pelabuhan tertentu. Fenomena ini, kata Calcalist, justru lebih merusak daripada embargo resmi, sebab tidak ada jalur hukum atau politik untuk menanggapinya.
Contoh kecil namun simbolis muncul di Prancis, ketika 150 turis Israel ditolak masuk ke taman hiburan, meski sudah memesan lebih dulu. Alasan “keamanan” hanya menjadi tameng; penolakan itu sesungguhnya lahir dari sikap pribadi manajemen yang menolak menerima orang Israel.
Tekanan di Sektor Bisnis
CEO perusahaan perdagangan Astel, Yanir Asulin, menyebutkan banyak mitra Eropa, Mesir, hingga Yordania yang mulai menjauhi kerja sama dengan Israel. Beberapa laboratorium internasional bahkan menolak mengakui sertifikasi produk Israel dengan alasan politis. Situasi ini memaksa sebagian perusahaan Israel membuka cabang di luar negeri agar tidak terhubung langsung dengan identitas Israel.
Tak hanya itu, Turki juga memperketat sikapnya. Pemerintah Ankara membatasi akses kapal Israel ke pelabuhan, dan produsen besar seperti Vestel terang-terangan menolak pertemuan dengan perwakilan bisnis Israel. Padahal, bertahun-tahun sebelumnya, hubungan dagang masih bisa bertahan di tengah konflik politik.
Efek Domino: Dari Harga Pasar hingga Reputasi
Bagi konsumen Israel, imbasnya terasa langsung. Harga barang naik, pilihan produk semakin terbatas, dan daya saing makin menurun. Menurut mantan ketua Asosiasi Industri, Ron Tomer, hal ini juga terkait citra buruk Israel. Pernyataan pejabat ekstrem, seperti seruan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich untuk melarang masuknya gandum ke Gaza, memperburuk persepsi global. “Saat dunia menyaksikan kelaparan di Gaza di televisi, mereka menghubungkannya dengan produk Israel. Lalu orang-orang secara pribadi memilih berhenti membeli,” ujarnya. Efek bola salju pun tak terhindarkan.
Sains dan Akademisi Turut Terhantam
Tak kalah serius, “blokade sunyi” ini juga menembus dunia akademik. Proyek-proyek riset bersama di Uni Eropa dibekukan, termasuk program Horizon yang selama ini menjadi tumpuan ilmuwan Israel. Universitas di Belgia dan Spanyol sudah mengumumkan pemutusan kerja sama. Hasilnya nyata: dalam dua tahun terakhir, publikasi akademik internasional yang melibatkan ilmuwan Israel turun lebih dari 20%, sementara jumlah hibah riset baru anjlok hingga 70%.
Asosiasi akademik internasional juga mulai memboikot Israel. Ratusan penolakan tercatat: dari mereview jurnal, mengundang dosen, hingga menerima keanggotaan. “Reputasi akademik Israel sedang runtuh,” tulis Calcalist.
Investasi, Energi, dan Kredit
Sektor energi pun tidak kebal. Beberapa bank Eropa mulai menolak memperbarui kredit bagi perusahaan energi Israel. Proyek pembangkit listrik dan pipa gas mengalami penundaan karena keengganan kontraktor asing bekerja di Israel.
Meski secara teknologi dan militer Israel tetap dipandang kuat, sektor lain kini kehilangan daya tarik. Investor asing melihat identitas “Israel” itu sendiri sebagai risiko politik.