Penulis dan analis politik Israel, Yossi Hadar, meluncurkan kritik tajam terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menyalahkannya atas keruntuhan ekonomi dan sosial Israel serta kehancuran hubungan vital dengan Amerika Serikat. Dalam opininya yang dimuat di harian oposisi Maariv, Hadar menegaskan, “Satu-satunya tujuan Netanyahu hanyalah kepentingan pribadi dan bertahan di kursi kekuasaan.”

Dengan tajuk “Alih-alih Mengurangi Ketergantungan pada Bantuan AS, Lebih Baik Kita Kurangi Ketergantungan pada Netanyahu”, Hadar menyerukan aksi nyata untuk menjatuhkan Netanyahu. Menurutnya, sang perdana menteri tidak memiliki jiwa kepemimpinan maupun rasa tanggung jawab nasional. “Dia telah menghancurkan sisa-sisa pondasi kokoh negara ini, dan kini hampir mengguncang hubungan dengan sekutu strategis terdekat: Amerika Serikat,” tulisnya.

Mengabaikan Sekutu, Membayar Mahal

Dalam beberapa tahun terakhir, Netanyahu dinilai bertindak dengan “sinisme, rasa malu yang hilang, dan penyesatan publik”. Ia tak lagi mengedepankan kepentingan jangka panjang Israel, melainkan membelakangi sekutu sejarah demi ambisi politik pribadi. Akibatnya, menurut Hadar, posisi Israel di panggung regional dan internasional kian melemah.

Kegagalan Netanyahu, kata Hadar, bukan sekadar kegagalan politik, melainkan “bencana strategis.” Bahkan di era Donald Trump—presiden AS paling pro-Israel—Netanyahu dinilai tak segan menantang dan mencoreng reputasinya. Alhasil, Washington mulai mengambil langkah mengejutkan: berdialog dengan kelompok Houthi tanpa melibatkan Israel, serta menegaskan bahwa AS hanya akan membela kepentingannya sendiri, bahkan jika Israel menjadi target serangan.

Negosiasi dengan Iran tetap berjalan meski ditentang Tel Aviv, kesepakatan senjata strategis diteken dengan Saudi dan Turki, serta sanksi terhadap Suriah mulai dilonggarkan. Semua ini, tegas Hadar, adalah hasil dari manuver gegabah Netanyahu yang menggerus nilai Israel di mata sekutunya.

Harga dari Ambisi Kekuasaan

Hadar mengutip ucapan mantan Perdana Menteri Yitzhak Shamir, yang menyebut Netanyahu sebagai “malaikat perusak”. Ia menilai Netanyahu tak menomorsatukan keselamatan negeri, rakyat, atau bahkan wilayahnya. Yang utama hanyalah mempertahankan kekuasaan. Demi itu, Netanyahu dinilai rela menyeret negara ke dalam perang yang tak berujung, menolak semua opsi pertukaran sandera atau penghentian perang, selama itu menguntungkan posisinya.

Netanyahu juga disorot karena mendorong RUU kontroversial yang memungkinkan kelompok ultra-Ortodoks menghindari wajib militer, sementara beban perang makin ditumpukkan kepada tentara cadangan yang kelelahan. “Semua ini bagian dari proyek bertahan hidup politiknya, sekalipun itu berarti negara runtuh,” tulis Hadar.

Hadar menuding bahwa kudeta yudisial yang dipimpin Netanyahu dan kabinetnya menjadi pemicu perpecahan terbesar dalam sejarah Israel. Hal itu turut berkontribusi pada tragedi nasional 7 Oktober 2023, ketika Israel gagal mencegah serangan besar dari Gaza. Ironisnya, lebih dari satu setengah tahun setelah kekacauan itu, Netanyahu belum menunjukkan tanda-tanda tanggung jawab. Ia bahkan menolak pembentukan komisi penyelidikan resmi, yang menurut Hadar menunjukkan absennya rasa tanggung jawab nasional.

“Oposisi Lemah, Waktu Tidak Bersahabat”

Menutup tulisannya, Hadar mengecam oposisi Israel yang dinilainya terlalu lemah dan pasif di tengah situasi kritis. Alih-alih mendesak penggulingan pemerintah sekarang juga, mereka hanya menunggu hasil pemilu berikutnya. Bagi Hadar, itu adalah “kesalahan strategis” yang memperpanjang penderitaan.

Ia menyerukan agar semua kekuatan politik yang masih memiliki akal sehat segera bersuara. Hadar menaruh harapan pada sayap kanan yang lebih rasional, seperti mantan PM Naftali Bennett dan ketua partai Yisrael Beiteinu, Avigdor Lieberman. “Diam bukan pilihan. Selama Netanyahu tetap berkuasa, waktu akan terus menjadi musuh Israel,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here