“Perawat pingsan di lorong-lorong rumah sakit, anak-anak menggigil kelaparan, dan nyawa-nyawa rapuh dijerat kematian yang pelan namun pasti.” Inilah potret terbaru dari Gaza yang dilaporkan The New York Times, sebuah catatan kelam dari jantung rumah sakit yang tak lagi menjadi tempat penyembuhan, tapi medan perlawanan hidup dan mati melawan genosida lewat kelaparan.
Dalam kepungan tanpa ampun, blokade Israel telah mengubah Gaza menjadi penjara terbuka yang kehabisan darah dan nutrisi. Rumah-rumah sakit kini dikepung oleh kekurangan makanan, air bersih, susu bayi, bahkan cairan infus. Para dokter bertahan seadanya, sering kali pingsan di tengah tugas, sementara perawat diselamatkan bukan oleh tim medis lain, tapi oleh tetesan air gula seadanya.
Bayi-Bayi Jadi Tulang dan Kulit
Angka resmi dari Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 56 warga gugur akibat kelaparan hanya dalam sebulan terakhir, setengah dari seluruh korban kelaparan sejak perang meletus 22 bulan lalu.
Situasi ini jauh dari sekadar “krisis kemanusiaan.” Ini adalah bencana yang disengaja.
Seorang dokter Inggris menggambarkan kondisi pasien sebagai “kerangka hidup”, bayi tujuh bulan yang tinggal tulang dan kulit, tak mampu menangis, apalagi bertahan hidup.
“Ini bukan sekadar kelaparan,” katanya, “ini kekejaman yang dibuat manusia, digunakan sebagai senjata perang.”
Distribusi Bantuan = Perang Baru
Setelah membungkam Gaza dari Maret hingga Mei, Israel mengklaim telah membuka akses bantuan. Namun yang terjadi adalah perubahan skema: sistem distribusi baru dikendalikan kontraktor swasta di bawah bayang-bayang militer.
Warga harus menembus garis tembak, berjalan berkilo-kilometer demi sebungkus tepung atau susu.
Alih-alih menjadi solusi, titik distribusi justru menjelma “perangkap maut”, ratusan tewas saat mencoba bertahan hidup. Israel berdalih hanya menembakkan “peluru peringatan”, namun bukti medis menunjukkan luka tembak mematikan di tubuh bagian tengah, tanda penargetan langsung.
Harga Makanan = Harga Nyawa
Di pasar, kalau pun ada bahan makanan, harganya tak masuk akal. Satu kilogram tepung bisa mencapai 30 dolar. Susu formula mencapai 120 dolar per kaleng.
Daging dan beras sudah jadi kemewahan yang tak bisa dijangkau. Pilihan yang tersisa bagi warga Gaza hanyalah: mati kelaparan di rumah, atau mati ditembak saat mencoba mencari makan.
Kisah-Kisah Sunyi di Tengah Derita
The New York Times menyorot kisah dua anak kecil. Salam, bayi perempuan berusia tiga bulan, hidup di antara nyawa dan maut. Ibunya terlalu lemah untuk berjalan, dan ayahnya gagal membawa bantuan karena kehabisan stok di tengah perjalanan. “Setiap hari aku bertempur untuk menjaga Salam tetap hidup,” kata ibunya.
Sementara itu Yazan, balita dua tahun, terbaring kurus kering. Rumah sakit menolaknya, tak ada alat, tak ada obat.
 
            









