Jurnalis ternama Israel, Gideon Levy, menulis artikel pedas di Haaretz yang mengecam rencana “kota kemanusiaan” di selatan Gaza, gagasan yang dia sebut sebagai “ghetto modern” paling memalukan dalam sejarah Israel.
Levy membayangkan, andai Mordechai Anielewicz (pemimpin perlawanan Ghetto Warsawa) masih hidup hari ini, ia akan “mati lagi” karena malu mendengar rencana Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, yang sepenuhnya didukung oleh PM Benjamin Netanyahu.
Menurut Levy, Anielewicz pasti tak akan percaya bahwa 80 tahun setelah Holocaust, seorang menteri Israel (yang bahkan anak dari dua penyintas kamp Nazi) berani merancang “rencana setan” seperti itu.
Lebih memilukan lagi, Levy menyoroti betapa dunia (termasuk Eropa, bahkan Jerman) nyaris bungkam menanggapi gagasan mengerikan ini.
Ghetto yang Disamarkan Sebagai “Kota Kemanusiaan”
Levy menilai rencana “kota kemanusiaan” ini tak ubahnya ghetto, disajikan seolah sah dan manusiawi. Ia dengan sinis bertanya, “Siapa yang mendukung kamp konsentrasi ini, dan siapa yang menolaknya?”
Ia bahkan menyindir, apakah setelah ini akan muncul ide “kamp pemusnahan” bagi mereka yang gagal melewati pemeriksaan di pintu masuk ghetto?
Menurut Levy, Israel selama ini sudah melakukan pembunuhan massal secara perlahan terhadap warga Gaza. “Kenapa tidak sekalian dibuat lebih cepat dan lebih ‘efisien’, agar ‘menjaga’ nyawa tentara kita yang berharga?” tulisnya, getir.
Levy menyebut, bisa saja nanti ada yang mengusulkan “mini Holocaust” di atas puing Khan Younis, di mana warga boleh “secara sukarela” masuk ke ghetto, tapi tentu saja tidak bebas untuk keluar.
Alarm Bahaya Genosida
Levy memperingatkan: genosida tak terjadi tiba-tiba. Ia lahir secara bertahap, mulai dari dehumanisasi (merampas kemanusiaan), lalu demonisasi (menjadikan lawan sebagai setan), kemudian propaganda ketakutan.
Israel, menurutnya, kini sudah berada pada tahap sebelum genosida: “Tidak ada warga sipil yang benar-benar tak bersalah di Gaza”, “7 Oktober adalah ancaman eksistensial yang bisa terjadi kapan saja”, dan seruan untuk “mengusir” warga.
Levy mengaku selama bertahun-tahun menolak membandingkan Israel dengan Nazi, karena ia masih percaya Israel punya nilai moral. Tapi perilaku Israel di Gaza telah mengguncang keyakinannya.
Kehilangan Hak untuk Bicara Kemanusiaan
Bagi Levy, Israel sudah kehilangan hak moral untuk memakai kata “kemanusiaan”. “Siapa pun yang mengubah Gaza menjadi kuburan massal, tanah yang hangus, tak lagi punya kaitan dengan kemanusiaan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, banyak orang Israel hanya sibuk menangisi penderitaan sandera mereka, tapi abai pada fakta bahwa setiap enam jam, tentara mereka membunuh jumlah warga Gaza yang setara dengan total sandera yang masih hidup.
Jika 21 bulan penuh penderitaan bayi, perempuan, anak-anak, jurnalis, dokter, dan orang-orang tak bersalah masih belum cukup membuka mata, maka “rencana ghetto” ini seharusnya jadi alarm keras: Israel sedang bergerak menuju genosida dan pengusiran massal.
“Kalau pun belum berniat melakukan genosida sekarang, Israel telah menyiapkan panggung yang sangat berbahaya untuk tergelincir ke dalamnya, bahkan tanpa sadar,” pungkas Levy.
Sumber: Haaretz