Harian Wall Street Journal melaporkan bahwa gencatan senjata rapuh di Gaza dimulai tanpa tercapainya tujuan utama Israel, yaitu menghancurkan Hamas. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjanjikan kepada pendukung sayap kanannya yang kecewa bahwa kemenangan penuh akan tercapai di masa depan.

Menurut Wall Street Journal, perang belum berakhir. Netanyahu, yang menghadapi kritik dari mitra koalisi sayap kanannya, menyatakan bahwa Israel dapat melanjutkan serangan setelah fase pertama gencatan senjata. Bahkan sebelum para tahanan kembali ke rumah, tudingan antara Israel dan Hamas mengenai pelanggaran kesepakatan telah dimulai.

Selama berbulan-bulan, pemerintah Israel dan militer saling menyalahkan atas kegagalan menghancurkan Hamas. Para pemimpin militer mengkritik kurangnya rencana untuk membawa otoritas alternatif guna mengelola Gaza, sehingga upaya di medan perang terbuang sia-sia. Netanyahu berulang kali menunda penghancuran Hamas dengan alasan bahwa rencana politik akan disusun kemudian.

Sebagian besar kelanjutan perang ini bergantung pada Presiden terpilih AS, Donald Trump, yang menjadikan normalisasi hubungan Israel-Saudi sebagai prioritasnya. Namun, gencatan senjata ini, seperti gencatan senjata rapuh di Lebanon, dapat menghasilkan konflik jangka panjang dengan intensitas rendah, bukan perdamaian.

Hamas memang kehilangan ribuan pejuangnya dan sebagian besar pemimpin seniornya, tetapi berhasil merekrut banyak anggota baru di Gaza dan menewaskan puluhan tentara Israel. Politikus Likud Yuli Edelstein menyatakan bahwa “Hamas telah terpukul keras di Gaza, tetapi tidak hancur.”

Kekalahan sebenarnya Hamas tidak terjadi di Gaza, melainkan di front Israel lainnya. Sekutu Hamas dalam poros perlawanan Iran, seperti Hizbullah, mengalami kerugian besar akibat serangan Israel, yang berhasil menghancurkan banyak kepemimpinan dan persenjataan mereka, termasuk pertahanan udara Iran.

Namun, Hamas tetap menjadi gerakan dengan akar yang kuat di Gaza. Gencatan senjata dan pembebasan ratusan tahanan Palestina dari penjara Israel akan memperkuat posisinya, meskipun secara resmi dikecualikan dari pemerintahan lokal di masa depan.

Sementara itu, Fatah sebagai pesaing utama Hamas tercoreng oleh korupsi, otoritarianisme, dan kerja sama dengan pasukan pendudukan Israel, sehingga rakyat Palestina terjebak antara “kepemimpinan yang lumpuh” dan “kepemimpinan yang membawa kehancuran,” menurut Hussein Ibish dari Institut Teluk Arab di Washington.

Dalam beberapa minggu terakhir, Otoritas Palestina mencoba meyakinkan AS dan Israel bahwa mereka layak terlibat dalam pengelolaan Gaza dengan melancarkan operasi melawan milisi di Kamp Pengungsi Jenin. Namun, operasi ini hanya memperkuat citra mereka sebagai sekutu keamanan Israel yang semakin kehilangan popularitas.

Wall Street Journal menyimpulkan bahwa Tepi Barat mungkin menjadi titik konflik baru antara Israel dan Palestina, terutama dengan meningkatnya kekerasan oleh pemukim ekstremis Israel yang mengancam stabilitas wilayah tersebut. Mantan kepala urusan Palestina di intelijen militer Israel, Michael Milstein, mengatakan bahwa “sangat disayangkan, Tepi Barat akan menjadi front baru.”

Sumber: Wall Street Journal

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here