Perdebatan semakin tajam soal akurasi perkiraan militer Israel dalam upaya menduduki Kota Gaza. Menurut analis militer, Kolonel Nidal Abu Zaid, kalkulasi Israel jauh dari realistis. Ia menilai operasi itu berisiko menyeret pasukan Israel ke dalam “rawa politik–militer” yang sulit keluar.
Perbedaan Perkiraan
Abu Zaid, dalam analisis di Al Jazeera, menekankan bahwa perkiraan durasi operasi saja sudah kontradiktif. Militer memperkirakan perlu setahun penuh, sementara level politik hanya bicara tiga bulan.
Lebih jauh, perhitungan kerugian jiwa pun dianggap meleset. Ia menunjuk serangan terbaru perlawanan Palestina di kawasan Zeitoun, Gaza, yang menyebabkan korban signifikan di pihak Israel. Media Israel, Channel 13, bahkan mengakui militer sendiri memperkirakan bisa kehilangan hingga 100 tentara dalam upaya menduduki Gaza.
Krisis Rekrutmen dan Moral
Faktor lain adalah persoalan mobilisasi pasukan. Militer Israel membutuhkan 60 ribu tentara cadangan, padahal undang-undang mewajibkan jeda minimal satu setengah bulan untuk mobilisasi. Channel 12 melaporkan 15 ribu dari mereka akan lebih dulu ditempatkan di perbatasan Lebanon, Suriah, dan Tepi Barat, agar pasukan reguler bisa fokus ke Gaza. Namun, Abu Zaid menekankan, sekitar 40% dari wajib militer enggan bergabung, sebuah krisis legitimasi internal yang kian berat.
Antara Politik dan Medan Tempur
Abu Zaid menyebut Kepala Staf Israel, Eyal Zamir, kini menghadapi tiga lapisan tekanan: target yang diminta, kapasitas yang dimiliki, dan kendala eksternal yang dipaksakan. Dengan angka yang saling bertabrakan, pilihan politik (seperti negosiasi dan kemungkinan pertukaran tawanan) mulai terlihat lebih masuk akal dibanding melanjutkan operasi berskala besar.
Hingga kini, data resmi yang dikutip Haaretz menyebut sudah lebih dari 900 tentara dan perwira Israel tewas sejak serangan “Badai al-Aqsa” pada Oktober 2023.