Gaza — Di tengah luka yang belum kering akibat kehilangan 25 anggota keluarganya—termasuk istri dan empat anaknya—dalam pengepungan di Jabalia, kanker mulai menggerogoti tubuh kakek Palestina, Jamal Abu Ughbait. Sel kanker menyebar dari usus ke hati, lalu ke paru-paru. Namun Gaza yang terkepung tak punya cukup obat untuk melawan penyakit ganas tersebut.
Meski dengan susah payah ia mendapatkan izin rujukan medis ke luar Gaza, pintu perbatasan yang tertutup rapat telah menutup pula jalan hidupnya.
“Saya butuh dua kantong darah tiap pekan untuk bisa bertahan hidup. Jika dalam beberapa hari saya tidak keluar untuk berobat, maka saya akan keluar untuk dikuburkan,” ujar Jamal kepada Al Jazeera Net.
Antrean Panjang Menuju Kematian
Jamal bukan satu-satunya yang menunggu di ambang maut. Lebih dari 2.784 pasien kanker tengah berpacu dengan waktu. Jika tak segera dievakuasi, mereka hanya menunggu ajal.
Sementara itu, puluhan ribu korban luka akibat agresi Israel yang telah berlangsung lebih dari 560 hari juga menghadapi nasib serupa.
Salah satunya adalah Sarah Salman, gadis kecil yang terluka akibat serangan udara di rumahnya di Jabalia. Kakaknya gugur, saudarinya kehilangan mata, dan Sarah sendiri mengalami kerusakan serius pada tulang belakang. Ia sempat lumpuh selama setahun.
Ayahnya membawa Sarah berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain di Gaza—tanpa hasil. Namun setelah menjalani terapi, ia mulai bisa duduk di kursi roda. Para dokter meyakini operasi di luar Gaza bisa membantunya berjalan kembali, tetapi hingga kini, Sarah masih menunggu giliran yang tak kunjung tiba.
Ribuan Nyawa Terjebak di Daftar Tunggu
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 12.000 pasien telah menyelesaikan seluruh proses administrasi untuk keluar berobat. Dari jumlah itu, 5.100 di antaranya adalah kasus darurat yang terancam kehilangan nyawa, dan 450 lainnya berada dalam kondisi sangat kritis yang butuh evakuasi medis segera.
Namun harapan itu digantung di bawah kendali total Israel. Menurut Zaher al-Wahidi, Kepala Pusat Informasi Kesehatan Gaza, hanya 1.100 pasien yang berhasil keluar selama masa gencatan senjata terakhir, sebagian besar melalui perbatasan Rafah.
Sejak perang dilanjutkan pada 18 Maret dan Rafah ditutup, satu-satunya akses keluar—Perbatasan Karem Abu Salem—hanya mengizinkan kurang dari 100 pasien untuk melintas.
Dr. Muhammad Abu Salmiya, pejabat rujukan medis di Gaza, menyebut jumlah ini sebagai “bencana kemanusiaan”.
Dulu, katanya, sekitar 50 pasien per hari bisa keluar dari Rafah. Kini, hanya 10 hingga 15 pasien yang diperbolehkan setiap dua pekan.
“Kami butuh ribuan pasien dievakuasi setiap hari. Kalau seperti ini, kita akan butuh bertahun-tahun untuk mengobati mereka,” tegasnya.
Menurutnya, sedikitnya jumlah pasien yang bisa keluar bukan hanya akibat pembatasan Israel, tetapi juga karena minimnya kesiapan negara-negara Arab dan Eropa untuk menerima pasien Gaza.
Yang lebih tragis, pasien-pasien diperiksa berulang kali secara ketat, baik dari sisi medis maupun keamanan. Banyak yang ditolak tanpa alasan. Israel, dengan kekuasaannya atas perbatasan, menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang dibiarkan mati.
Rumah Sakit Hancur, Obat Tak Ada
Di sisi lain, sistem kesehatan di Gaza nyaris tak berfungsi. Rumah Sakit Al-Maamadani diserang dan hampir semua rumah sakit tak lagi beroperasi. Sudah lebih dari 40 hari tak ada satu pun pasokan medis yang masuk.
Tidak tersedia alat rontgen, MRI, kateterisasi jantung, atau obat-obatan kanker, termasuk kemoterapi. “Tanpa peralatan dasar ini, kematian menjadi pilihan tanpa alternatif bagi ribuan pasien,” tegas Abu Salmiya.
Ia mencatat, 10 hingga 20 pasien meninggal setiap pekan hanya karena tak bisa diobati.
“Kanker tak bisa menunggu. Pasien jantung terbuka tak bisa ditunda. Pasien saraf dan ginjal akan meninggal jika tidak segera dievakuasi,” tegasnya.
Kementerian Kesehatan pun kembali menuntut agar tim medis, rumah sakit lapangan, dan seluruh alat kesehatan vital diizinkan masuk, termasuk pengobatan kanker dan kemoterapi.
Jalur Evakuasi yang Disulap Jadi Jalur Pengusiran
Ironisnya, ketika pasien-pasien kritis hanya keluar “setetes demi setetes,” ratusan warga asing dan pemilik kewarganegaraan ganda serta keluarganya justru diizinkan keluar lebih cepat. Banyak pihak menilai hal ini sebagai strategi pengusiran terselubung dengan bungkus kemanusiaan.
Osama Saad, pakar hukum internasional, menolak menyebut ini sebagai migrasi sukarela. Baginya, ini adalah “pengusiran paksa yang sistematis”.
“Israel memaksa warga Gaza hidup di reruntuhan, tanpa air, listrik, atau keamanan. Mereka mendorong warga untuk ‘keluar’ demi bertahan hidup. Ini jelas kejahatan perang menurut hukum internasional,” tegasnya.
Kontrol penuh Israel atas semua perbatasan, termasuk Rafah, telah menjadikan Gaza seperti penjara raksasa. Dan jika Israel ingin terus menjajah Gaza, maka—kata Saad—hukum internasional mewajibkan mereka bertanggung jawab penuh atas kehidupan warga sipil: dari kesehatan, pendidikan, hingga keselamatan.
Namun, Israel, lanjutnya, “berlaku seolah berada di atas hukum, membuat aturan sendiri, sementara dunia Arab dan internasional terdiam dalam keheningan yang mematikan.”