“Ini bukan bantuan, ini penghinaan dan fitnah.” Begitulah kata-kata terakhir Uday al-Qar’aan, perawat muda berusia 33 tahun dari Deir al-Balah, hanya dua hari sebelum ia syahid. Sebuah kotak bantuan yang dijatuhkan dari pesawat menghantamnya, merenggut nyawanya. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak kecil, bersama kemarahan yang terekam dalam video, tentang bantuan yang datang lewat langit, berisi makanan seadanya, dengan cara yang tak pantas bagi bangsa yang terkepung dan kelaparan.

Sejak 26 Juli, ketika Israel kembali mengizinkan bantuan udara dan membatasi truk bantuan yang masuk, sedikitnya tiga nyawa telah melayang akibat “kotak kematian” itu. Bagi sekitar 2,3 juta penduduk Gaza, bantuan ini hanyalah serpihan harapan yang tak cukup untuk mengusir lapar, apalagi mengembalikan martabat.

Hanya Mengundang Kekacauan
Warga Gaza dan lembaga kemanusiaan menolak keras metode ini. Mereka menyebutnya tak aman, tak adil, dan tak efektif. Setiap kali kotak-kotak itu jatuh, ribuan orang yang kelaparan berebut, menimbulkan adegan memilukan, orang-orang saling dorong, saling tarik, demi sebungkus makanan kaleng. Sering kali yang didapat hanyalah roti berjamur atau kemasan rusak, sementara sebagian besar bantuan disapu oleh kelompok bersenjata, meninggalkan remah-remah bagi rakyat biasa.

Seorang pengungsi menyebut lokasi jatuhnya kotak sebagai “medan perang” di mana yang kuat memangsa yang lemah, persis seperti yang diinginkan penjajah. Banyak warga bahkan melarang keluarganya mendekat, karena tahu di balik kotak itu tersimpan bahaya: benturan, penjarahan, bahkan kematian.

Solusi yang Mahal, Tak Efektif
Bahkan PBB menegaskan: bantuan udara 100 kali lebih mahal daripada truk yang membawa dua kali lipat muatan. Sebelum Maret lalu, jeda gencatan senjata memungkinkan 500–600 truk bantuan masuk setiap hari, menjangkau semua warga Gaza dengan aman dan bermartabat. Kini, ribuan truk terhenti di perbatasan, menunggu izin yang tak kunjung datang.

Israel, kata para aktivis, sengaja mempertahankan metode ini untuk menciptakan “arsitektur kelaparan dan kekacauan”, mengganti jalur bantuan resmi dengan sistem yang rawan konflik dan jauh dari keadilan.

Bantuan yang Mengorbankan Nyawa
Sejak awal genosida, setidaknya 23 warga Gaza gugur dan 124 luka-luka akibat jatuhnya kotak bantuan di lokasi yang salah, termasuk di laut, di area kosong, atau di wilayah yang dikuasai militer Israel, memancing warga untuk keluar dan menjadi sasaran tembakan.

Bagi para pejuang kemanusiaan, solusi nyata sudah jelas: buka perbatasan, izinkan ribuan truk bantuan masuk setiap hari, bawakan pangan, obat, susu bayi, dan bahan bakar untuk rumah sakit. Bantuan udara hanyalah ilusi penyelamatan, sementara perut-perut tetap kosong, dan rencana kelaparan terus dijalankan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here