Setelah gencatan senjata diumumkan dan ia akhirnya kembali ke rumahnya di Kota Gaza, jurnalis Rami Abu Jamous menulis kesaksian yang menggugah hati. Dalam catatannya di Orient XXI, ia mengingatkan dunia bahwa berhentinya perang tidak berarti berakhirnya penderitaan.

Rami termasuk yang beruntung. Ia mendapati apartemennya di Jalan Charles de Gaulle masih berdiri. Namun di bagian utara, kamp pengungsi Al-Shati dan kawasan Sheikh Radwan telah rata dengan tanah. Di selatan, Tal al-Hawa lenyap seolah ditelan gempa besar.

“Kami memang selamat,” tulisnya, “tapi kami hidup di antara bayang-bayang yang musnah.”

Banyak yang bertanya padanya: bagaimana kehidupan setelah perang? Apakah udara terasa lebih ringan? Ia menjawab dengan perumpamaan getir:

“Kami seperti pasien yang baru sadar setelah operasi besar. Masih dalam kabut obat bius, belum tahu di mana lukanya, seberapa parah, atau apakah masih bisa berjalan lagi.”

Luka yang Belum Sembuh

“Blender itu telah berhenti,” tulisnya, “badai itu reda. Tapi kepala kami masih berputar. Kami memang keluar dari perang, tapi perang belum keluar dari kami.”

Bunyi mobil sering ia kira suara roket. Dengung pesawat tanpa awak dan sirene ambulans masih menempel di telinga. Malam di Gaza kini sunyi, tapi bagi mereka yang selamat, suara perang masih bergema dalam jiwa.

Gencatan senjata memang dimulai, namun krisis kemanusiaan belum berakhir. Air tetap langka, listrik nyaris tak ada. Warga menyalakan api di atas puing-puing rumah, memasak dengan kayu bakar. Harga bahan pokok melonjak gila-gilaan, sementara bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza terbatas, diawasi ketat oleh militer Israel, dan kerap berakhir di tangan para pedagang.

Di tengah reruntuhan, Deir al-Balah kini berubah menjadi semacam “ibu kota baru” Gaza, tempat berkumpulnya lembaga internasional dan gudang logistik, karena wilayah lain hancur berat. Kota Gaza sendiri masih terdiam, sekolah dan universitas belum dibuka, kehidupan nyaris tak berdenyut.

“Seorang tetangga memasang generator,” tulis Rami, “dan untuk pertama kalinya sejak kembali, aku memutar keran dan air mengalir. Tidak terus-menerus, tapi cukup membuat kami merasa hidup lagi.”

Antara Hidup dan Bertahan

Situasi yang tampak seperti “kembali normal” itu justru menyadarkan warga Gaza akan betapa dalam luka yang mereka bawa. Setelah dua tahun pembantaian, mereka kini menatap kehancuran dan bertanya-tanya: adakah masa depan yang tersisa?

Sebagian layanan publik perlahan dibangun ulang. Pemerintah yang dikelola Hamas membuka kembali kantor catatan sipil, mencatat kelahiran, kematian, dan pernikahan. Pasar-pasar mulai ditata, seolah kehidupan hendak dimulai lagi. Tapi bayang ancaman tak pernah pergi.

Pemimpin Israel terus menebar peringatan akan dimulainya kembali perang, atau bahkan pembagian ulang wilayah Gaza. Bagi Abu Jamous, ini bukan sekadar teror psikologis, melainkan kebijakan sistematis untuk menahan Gaza dalam keadaan tidak perang dan tidak damai, sebuah ruang hampa yang perlahan mendorong penduduknya menuju pengusiran paksa.

Gaza dan Masa Depan yang Tak Terlihat

Dalam renungan terakhirnya, Abu Jamous bertanya dengan getir, “Bagaimana mungkin berbicara tentang rekonstruksi, tentang kehidupan normal, sementara tak ada air, listrik, atau sekolah, dan tak ada harapan yang nyata?”

Bagi warga Gaza, perang mungkin telah berhenti, tapi kehancurannya masih bernafas di setiap dinding rumah, di setiap langkah anak-anak yang tumbuh tanpa cahaya.

“Kami keluar dari perang,” tulisnya, “tapi perang tak pernah keluar dari kami.”

Sumber: Orient XXI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here