Musim dingin kembali merenggut nyawa paling rapuh di Jalur Gaza. Kementerian Kesehatan Gaza mengumumkan, seorang bayi Palestina wafat bernama Saeed Asaad Abidin akibat penurunan suhu yang ekstrem, Kamis (19/12). Tragedi ini terjadi di tengah gelombang dingin yang menyapu wilayah tersebut, bersamaan dengan peringatan Pemerintah Kota Gaza soal krisis pengelolaan sampah akibat kelangkaan bahan bakar yang kian parah.

Dalam pernyataannya, Kementerian Kesehatan menyebut bayi bernama Saeed Asaad Abidin, yang baru berusia satu bulan, meninggal dunia karena suhu dingin yang menusuk. Dengan kematian ini, jumlah korban wafat yang tiba di rumah sakit akibat cuaca ekstrem dan dingin membekukan di Gaza meningkat menjadi 13 orang.

Anak-anak di kamp-kamp pengungsian Gaza kini menjalani hidup dalam kondisi yang nyaris mustahil. Gelombang cuaca buruk memperparah situasi, memicu lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan, flu berat, dan penyakit akibat paparan dingin berkepanjangan—semuanya terjadi di tengah ketiadaan perlindungan dasar.

Direktur Kompleks Medis Al-Shifa, Mohammed Abu Salmiya, menyebut anak-anak Gaza menghadapi ancaman berlapis. “Mereka dibunuh tank, dibunuh dingin, dan dibunuh penyakit,” ujarnya kepada Al Jazeera. Ia menegaskan, Gaza kini berada pada fase terburuk dalam krisis kekurangan obat-obatan.

Krisis Layanan Kota

Di sisi lain, Pemerintah Kota Gaza memperingatkan dampak serius krisis pengangkutan sampah akibat kelangkaan bahan bakar untuk mengoperasikan armada kebersihan. Kekurangan ini memaksa layanan kota dipangkas hingga sekitar 50 persen dari kapasitas normal, tepat saat musim dingin meningkatkan risiko kesehatan publik.

Pemerintah kota mendesak intervensi segera untuk penyediaan bahan bakar dan peralatan dasar, serta dukungan layanan kota, guna mencegah bencana kemanusiaan dan lingkungan yang kian dekat.

Sehari sebelumnya, pertahanan sipil Gaza telah memperingatkan gelombang dingin ekstrem yang mengancam nyawa anak-anak, terutama di tengah ketiadaan tempat berlindung dan sarana pemanas. Peringatan itu muncul saat dampak kemanusiaan dari perang genosida Israel—yang berlangsung selama dua tahun—terus membekap kehidupan warga.

Ratusan ribu pengungsi hidup dalam kondisi keras setelah rumah mereka dihancurkan dan mereka dipaksa mengungsi. Selimut dan alat pemanas langka, sementara hujan menimbulkan genangan air di sekitar tenda-tenda dan bangunan yang nyaris roboh. Hancurnya sistem drainase dan jaringan pembuangan limbah selama perang membuat air hujan bercampur limbah, memperparah krisis kesehatan.

Penderitaan berlapis ini terjadi di tengah kegagalan Israel memenuhi komitmen gencatan senjata yang ditandatangani pada 10 Oktober lalu, termasuk protokol kemanusiaan yang mewajibkan masuknya bahan penampungan, 300 ribu tenda, dan rumah mobil—sebagaimana berulang kali ditegaskan kantor media pemerintah Gaza.

Sejak perang dimulai pada 8 Oktober 2023 dengan dukungan Amerika Serikat dan berlangsung selama dua tahun, lebih dari 70 ribu warga Palestina gugur syahid dan lebih dari 171 ribu terluka, mayoritas anak-anak dan perempuan. Sekitar 90 persen infrastruktur sipil Gaza hancur—menyisakan musim dingin sebagai ancaman mematikan yang sunyi, namun tak kalah kejam.

Sumber: Al Jazeera, Anadolu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here