Sebelum perang, sektor jasa di Gaza masih berdenyut, menjadi penopang utama ekonomi lokal di tengah kepungan blokade panjang. Bidang ini menyumbang hampir 55 persen dari produk domestik bruto dan menyerap lebih dari setengah tenaga kerja di wilayah tersebut.

Namun, perang yang berkepanjangan menghancurkan segalanya. Infrastruktur porak-poranda, kawasan bisnis luluh lantak, dan kegiatan ekonomi terhenti hampir total. Data resmi menunjukkan, sektor jasa Gaza anjlok hingga 76 persen, dengan hilangnya lebih dari 182 ribu pekerjaan hanya dalam beberapa bulan pertama agresi. Kini, hanya sekitar 60 ribu pekerja yang masih tersisa dari 147 ribu sebelum perang.

Usaha Runtuh, Hidup Terhenti

Abdul Naser al-Ajrami, Ketua Asosiasi Pemilik Roti dan pemilik Maqbaza al-Sharq, menuturkan kepada Al Jazeera Net bahwa “perang terakhir menghancurkan seluruh cabang usaha roti di Jabalia dan Kota Gaza, termasuk mesin, peralatan, dan jalur produksi.”

Kerugian yang ia alami mencapai ratusan ribu dolar, dan lebih dari 100 karyawannya kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi apa pun.

“Kami tidak hanya kehilangan bangunan,” katanya lirih, “kami kehilangan kehidupan ratusan keluarga. Dukungan untuk membangun kembali usaha ini bukan kemewahan, melainkan kebutuhan kemanusiaan.”

Di tepi pantai Gaza, kisah serupa dialami Raed Haroun, pemilik Orkida Café. “Kafe itu adalah satu-satunya sumber penghidupan bagi saya dan para pekerja,” ujarnya. “Dalam sekejap, semuanya lenyap.” Ia memperkirakan kerugiannya mencapai 80 ribu dolar, menutup harapan yang semula ia rajut untuk memperluas usaha.

Pintu Menuju Pemulihan

Sektor jasa Gaza mencakup perdagangan lokal, restoran, transportasi, pusat pendidikan dan kesehatan swasta, hingga proyek mikro seperti kafe, toko kelontong, dan pusat pelatihan.

Meski tercekik blokade selama 18 tahun, sektor ini tetap menjadi urat nadi ekonomi Gaza, karena bergantung pada modal lokal dan kerja mandiri. Menghidupkannya kembali menjadi kunci pemulihan ekonomi dan sosial pascaperang.

Muhammad Barbakh, pejabat Kementerian Ekonomi Gaza, mengatakan pemerintah berupaya menarik investasi lokal dan internasional untuk memulihkan sektor jasa. Namun, hingga kini belum ada respons konkret dari lembaga donor internasional, meski kontribusi sektor jasa terhadap ekonomi Gaza anjlok ke level terendah dalam sejarah.

“Sejak gencatan senjata, kami menyiapkan rencana pemulihan dan kebijakan dukungan operasional dasar,” ujarnya. “Tapi tanpa lingkungan politik dan keamanan yang stabil, semua rencana tinggal di atas kertas.”

Ekonomi di Ambang Lumpuh

Pakar ekonomi Universitas Al-Azhar, Dr. Samir Abu Mdallalah, menilai kerusakan di sektor jasa berarti hilangnya sumber penghidupan bagi ribuan keluarga dan meningkatnya angka kemiskinan serta pengangguran.

Ia memperingatkan, kehancuran industri kecil, pertanian, dan sektor jasa menyebabkan Gaza kehilangan lebih dari 80 persen kapasitas produksinya, memicu kontraksi ekonomi yang dalam dan penurunan drastis pendapatan per kapita.

“Tanpa rencana rekonstruksi yang menyeluruh,” tegasnya, “Gaza akan terperosok dalam kelumpuhan ekonomi yang berkepanjangan.”

Dimensi Politik dari Krisis

Pengamat politik Zulfikar Suairjo menilai kehancuran ekonomi Gaza tak bisa dilepaskan dari motif politik. “Yang terjadi bukan sekadar perang, tapi strategi sistematis untuk melumpuhkan kemampuan hidup rakyat Palestina,” katanya.

Menurutnya, perang dan blokade selama 18 tahun menjadi alat untuk menjaga Gaza tetap dalam krisis permanen, mencegah munculnya ekonomi yang mandiri.

“Pemulihan ekonomi tak akan mungkin tanpa solusi politik,” tegasnya. “Pembukaan perbatasan, kebebasan perdagangan, dan dukungan internasional bagi usaha kecil-menengah harus berjalan seiring. Tanpa itu, semua upaya pemulihan hanya bersifat sementara.”

Bantuan Kemanusiaan Jadi Prioritas

Sementara itu, Juru Bicara UNRWA, Adnan Abu Hasna, menegaskan bahwa fokus lembaganya kini tertuju pada bantuan darurat: pendidikan, kesehatan, lingkungan, pusat pengungsian, dan distribusi pangan.

Namun, ia mengakui bahwa UNRWA mengalami defisit lebih dari 200 juta dolar, sehingga belum mampu mendukung pemulihan sektor jasa dan proyek ekonomi kecil.

“Prioritas kami saat ini adalah menyelamatkan hidup manusia,” ujarnya. “Pemulihan ekonomi akan menjadi langkah berikutnya, bila dana dan stabilitas akhirnya datang.”

Bagi rakyat Gaza, sektor jasa bukan sekadar roda ekonomi, tetapi tulang punggung kehidupan. Di tengah reruntuhan dan blokade, mereka terus mencari cara untuk bertahan, karena di tanah yang dikepung, bekerja dan berusaha adalah bentuk lain dari perlawanan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here