Meski perjanjian gencatan senjata telah berlaku sejak 11 Oktober, kehidupan di Jalur Gaza masih terperangkap dalam penderitaan yang nyaris tak berujung. Israel seolah tetap memegang “hak” untuk membunuh warga sipil kapan pun ia mau.

Pada Rabu malam, serangan udara yang mengguncang wilayah tengah, utara, dan selatan Gaza menewaskan lebih dari 100 warga Palestina, termasuk 46 anak-anak, dan melukai sedikitnya 153 orang. Kementerian Kesehatan Gaza menyebut serangan tersebut sebagai pelanggaran paling berdarah sejak gencatan senjata diberlakukan.

Israel mengklaim serangan itu sebagai balasan atas serangan terhadap pasukannya di Khan Younis, namun Hamas membantah keras terlibat dalam insiden tersebut. Gerakan perlawanan itu menyerukan para mediator dan pihak penjamin untuk menekan Israel agar mematuhi kesepakatan dan menghentikan pembantaian terhadap warga sipil.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, sejak gencatan senjata dimulai, jumlah korban akibat serangan Israel mencapai 211 syahid dan hampir 600 orang terluka.

Lebih memilukan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan 421 anak meninggal karena kekurangan gizi, termasuk 113 jiwa yang wafat hanya dalam beberapa bulan terakhir. Dua tahun perang telah menewaskan lebih dari 68 ribu warga Palestina dan melukai sekitar 170 ribu lainnya, sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Bantuan Tertahan, Kehidupan Kian Sulit

Meskipun gencatan senjata telah berlangsung tiga pekan, Israel masih menahan masuknya bantuan pangan, obat-obatan, dan tenda pengungsian. Di sisi lain, pasukan pendudukan tetap menembaki wilayah perbatasan dan menghancurkan rumah-rumah warga.

Menurut laporan jurnalis Al Jazeera, Shadi Shamiya, sebuah kawasan pemukiman di Hayy al-Shati, Gaza barat, hancur total setelah dibombardir pasukan Israel.

Ratusan ribu pengungsi kini hidup dalam kondisi mengenaskan, tanpa air bersih dan layanan medis memadai. Situasi ini membuat lembaga kemanusiaan internasional kesulitan memperluas jangkauan bantuan.

Jenan Saad, Kepala Kantor Media Doctors Without Borders (MSF) di Gaza, menyebut bahwa meski perang telah “berhenti di atas kertas”, penderitaan warga masih berlangsung di lapangan.
“Kehidupan di tenda-tenda pengungsian, tanpa sanitasi yang layak, memicu ledakan penyakit kulit, saluran pernapasan, dan infeksi usus,” ujar Saad.

Kebutuhan Mendesak yang Tak Terpenuhi

Dalam upaya membantu, MSF baru membuka klinik luka bakar di Gaza utara dan menyalurkan air bersih di Deir al-Balah. Namun, minimnya pasokan dan larangan Israel atas masuknya bantuan membuat mereka tak mampu memenuhi kebutuhan dasar warga.

Menurut Saad, sistem kesehatan Gaza telah hancur total akibat dua tahun perang yang ia sebut sebagai “genosida”. Ribuan pasien kanker dan gagal ginjal kini menunggu evakuasi medis, sementara rumah sakit tidak lagi memiliki kapasitas menangani mereka.

Ia mendesak komunitas internasional untuk segera bertindak, “Situasi di Gaza masih sangat memprihatinkan. Diperlukan langkah nyata untuk memperkuat gencatan senjata, memulihkan layanan kesehatan, dan menjamin akses terhadap air serta bantuan kemanusiaan,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz mengklaim serangan pada Selasa malam menargetkan “infrastruktur militer Hamas” dan menewaskan sejumlah komandannya.

Adapun Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa Israel tidak melanggar gencatan senjata, dengan alasan tindakan militer itu merupakan “respon terhadap serangan terhadap pasukan Israel.”

Namun bagi rakyat Gaza, gencatan senjata itu kini terasa semu, karena bunyi bom dan jerit anak-anak masih bergema di langit yang seharusnya telah tenang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here