GAZA — Pasukan pendudukan Israel kembali melanggar kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza dengan melancarkan serangkaian serangan udara yang menyebabkan dua warga Gaza syahid, Rabu malam (29/10).
Sumber medis di RS Asy-Syifa, Kota Gaza, melaporkan dua warga syahid akibat serangan udara yang menargetkan kawasan As-Salathin, di Beit Lahia, wilayah utara Gaza.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, korban terbaru ini menambah panjang daftar pelanggaran Israel sejak diberlakukannya gencatan senjata 10 Oktober lalu, yang kini telah menelan 211 syahid dan 597 luka-luka, di luar 482 jenazah yang sebelumnya ditemukan di bawah reruntuhan sebelum kesepakatan dimulai.
Sementara itu, tentara Israel mengklaim serangannya menyasar “infrastruktur teroris” yang disebut digunakan untuk menyimpan senjata dan peralatan udara guna melancarkan serangan ke arah pasukannya.
Namun, petugas Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Basal, menegaskan bahwa salah satu korban gugur akibat serangan di kawasan Al-‘Atatirah, utara Gaza, dan tak ada bukti keberadaan target militer di sana.
Serangan terbaru ini terjadi hanya beberapa jam setelah militer Israel menyatakan telah kembali mematuhi gencatan senjata, usai gelombang pemboman brutal sebelumnya yang menyebabkan 104 warga Palestina syahid (termasuk 46 anak-anak) dalam waktu kurang dari satu hari.
Israel Gunakan Gencatan Senjata sebagai Kedok
Meski menyatakan akan “menegakkan kesepakatan” dan “menanggapi setiap pelanggaran dengan kekuatan penuh,” pernyataan para pejabat Israel justru menegaskan arah kebijakan yang kontradiktif.
Menteri Pertahanan Yisrael Katz menegaskan, “Siapa pun yang menyerang tentara Israel atau melanggar kesepakatan akan membayar mahal.”
Sementara Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar menyebut, “pelucutan senjata Hamas” merupakan inti dari rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump.
Di sisi lain, seorang pejabat Amerika mengklaim bahwa Hamas juga melakukan pelanggaran gencatan senjata, namun menyebut bahwa respons Israel “terukur dan terbatas pada sasaran Hamas.” Ia menambahkan bahwa Washington “memantau dengan cermat perkembangan di Gaza karena tak ingin kekerasan kembali berubah menjadi perang terbuka.”
Namun bagi rakyat Gaza, kenyataan di lapangan jauh dari “terukur.” Serangan yang menghantam permukiman padat penduduk terus menimbulkan korban anak-anak dan perempuan, sementara dunia internasional masih bungkam.
Seruan Hentikan Kejahatan terhadap Warga Sipil
Dalam pernyataannya, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) mengecam keras serangan-serangan Israel yang terus berulang di tengah kesepakatan gencatan senjata. Hamas menyerukan masyarakat internasional untuk menekan Tel Aviv agar menghentikan “pembantaian sistematis terhadap warga sipil.”
“Darah anak-anak dan perempuan Gaza bukanlah darah murah,” tegas Hamas.
“Seluruh faksi perlawanan berkomitmen pada kesepakatan dengan penuh tanggung jawab, tetapi kami tidak akan membiarkan musuh menciptakan fakta baru di bawah bara api.”
Serangan ini menambah deretan pelanggaran terhadap perjanjian yang menjadi bagian dari rencana perdamaian Presiden Donald Trump, yang disepakati pasca dua tahun agresi militer di Gaza. Agresi itu sendiri telah menyebabkan lebih dari 68 ribu warga Palestina syahid, melukai 170 ribu lainnya (mayoritas anak-anak dan perempuan) serta menimbulkan kerugian material sekitar 70 miliar dolar AS, menurut perkiraan PBB untuk proses rekonstruksi.
Sumber: Al Jazeera










