Gelombang protes anti-perang di Berlin, Paris, Roma, London, Brussels, dan Washington mulai mengguncang kebijakan resmi sejumlah negara Barat. Seiring meningkatnya tekanan publik, beberapa pemerintah mengambil langkah yang dinilai signifikan, langkah yang, menurut pengamat, dapat membongkar citra palsu yang selama ini dibangun Israel tentang dirinya dan rakyat Palestina.
Sebanyak 24 menteri luar negeri dan 3 komisioner Uni Eropa merilis pernyataan bersama yang menyerukan tindakan mendesak untuk menghentikan penderitaan kemanusiaan di Gaza. Di Norwegia, dana kekayaan negara memutuskan menjual saham di 11 perusahaan Israel sebagai respons atas agresi militer di wilayah tersebut.
Slovenia menjadi negara Uni Eropa pertama yang memberlakukan larangan perdagangan senjata dengan Israel pada awal Agustus, diikuti Jerman yang menghentikan persetujuan ekspor senjata baru ke Tel Aviv.
Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Dr. Mustafa Barghouti, menyebut dinamika internasional ini sebagai “tsunami” dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Palestina maupun Israel. Ia menilai perubahan paling signifikan justru terjadi di Amerika Serikat, merujuk pada survei Gallup yang dipublikasikan CNN: pada 2019 dukungan bersih terhadap Israel berada di +13, kini merosot ke -23, bahkan di kalangan usia di bawah 35 tahun jatuh ke -73.
Barghouti membandingkan situasi ini dengan gelombang protes anti-perang Vietnam dan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan (bahkan mungkin lebih besar) dan menegaskan bahwa pemerintah Barat kini terdorong untuk mengikuti opini publik.
Ia memperkirakan perubahan sikap ini akan berpengaruh hingga ke peta politik dalam negeri negara-negara tersebut, termasuk Amerika Serikat, mengingat generasi baru warga Palestina telah terintegrasi dan berpengaruh di masyarakat setempat. Barghouti menekankan bahwa momentum ini harus dimanfaatkan menjadi tekanan politik yang nyata untuk memaksa Israel menghentikan agresinya di Gaza dan mengakhiri pendudukan.
Sejumlah analis menilai lonjakan dukungan global terhadap Palestina terjadi karena runtuhnya fondasi narasi Israel. Akademisi dan pakar urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, menyebut Israel selama ini mengklaim sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah, korban yang merepresentasikan peradaban Barat. Namun, klaim itu kini terkuak sebagai ilusi.
Dunia mulai memperlakukan Israel bukan sebagai korban, tetapi sebagai pelaku agresi yang mewakili wajah fasisme, bukan nilai-nilai demokrasi. Mustafa menambahkan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu (yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional) telah gagal mewujudkan ambisinya untuk menghapuskan isu Palestina dari panggung dunia.