Di antara lumpur, hujan, dan dingin yang menusuk, para pengungsi Gaza menghadapi babak baru penderitaan setiap kali malam musim dingin tiba. Lebih dari dua tahun setelah gelombang pembantaian massal, ribuan tenda kini berubah menjadi genangan air, sementara tubuh anak-anak menggigil di balik selimut tipis yang tak mampu menahan lembab.
Tanpa infrastruktur dasar, setiap turunnya hujan terasa seperti ancaman baru—peringatan bahwa bencana kemanusiaan yang lebih berat sedang mengintai.
“Pertempuran Panjang Melawan Malam”
Di depan tendanya di barat Deir al-Balah, yang atapnya melengkung karena beban air, Umm Ahmad al-Haddad duduk di samping wadah logam kecil. Dengan potongan kardus basah, ia mencoba menyalakan api agar anaknya tidak membeku.
“Malam bagi kami bukan lagi waktu untuk tidur,” ujarnya lirih. “Ini pertempuran untuk bertahan hidup. Anak saya tidak punya pakaian hangat, semua selimut kami basah. Semalam, saya menempelkan tubuh saya padanya sepanjang malam agar ia tidak kedinginan.”
Ia menunjuk genangan air yang selalu muncul setiap hujan turun.
“Saya merasa berperang dengan hujan dengan tangan kosong. Dingin ini masuk ke tulang… dan memakan anak-anak kita.”
Samir, Ayah yang Menjaga Kedua Putrinya di Atas Kursi Tanpa Kaki
Samir Odeh, yang mengungsi dari Gaza utara, mengenang malam runtuhnya tenda keluarga.
“Salah satu tiangnya patah diterjang angin. Air masuk dalam hitungan menit. Saya mengangkat dua putri saya dan menaruh mereka di kursi patah tanpa kaki agar tidak terendam. Saya berdiri sampai pagi… kaki saya gemetar lebih hebat dari mereka.”
Namun, kata Samir, dingin hanyalah sebagian dari penderitaan.
“Di antara tenda-tenda, kita mendengar anak-anak menangis sepanjang malam. Kau ingin membantu, tapi dirimu sendiri nyaris tidak selamat.”
Umm Naser: Ketika Kenangan Perang Hidup Kembali di Musim Dingin
Perempuan lanjut usia ini duduk di atas papan kayu yang diambil anaknya dari reruntuhan rumah mereka. Lututnya masih basah karena hujan semalam.
“Saya telah melewati banyak perang,” katanya, “tapi musim dingin ini lebih berat dari semuanya. Saya merasa bisa mati bukan karena bom, tapi karena dingin.”
Ia bercerita tentang suara anak-anak dari tenda sekitar.
“Tangis itu tidak berhenti… dan demi Allah, dingin ini lebih menyakitkan dari peluru.”
Impian Seorang Anak: Selimut yang Tidak Basah
Di Kamp Sanabel, Khan Younis, Anas (9 tahun) berdiri tanpa alas kaki, menyelimuti dirinya dengan selimut yang masih meneteskan air.
Ketika ditanya apa satu permintaan yang ia inginkan, ia menjawab lirih:
“Saya ingin selimut yang tidak membuat saya basah. Tidak perlu yang lain.”
Ancaman Nyata
Ismail al-Thawabteh, Kepala Kantor Media Pemerintah di Gaza, menegaskan situasinya sangat mengkhawatirkan.
“Kami menyaksikan gelombang badai musim dingin yang mengancam kehidupan ratusan ribu pengungsi, terutama anak-anak yang tinggal di tenda rapuh tanpa perlindungan.”
Ia menyebut kondisi para pengungsi sebagai “ancaman nyata terhadap kehidupan”—anak-anak tidur di tanah basah, tanpa penghangat, tanpa makanan dan air bersih yang cukup.
Keadaan ini, lanjutnya, merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang mewajibkan kekuatan pendudukan melindungi warga sipil dan memenuhi kebutuhan dasar mereka.
“Badai Berikutnya Bisa Jadi Bencana Ganda”
Al-Thawabteh memperingatkan bahwa badai yang akan datang dapat membawa kondisi lebih buruk setelah ribuan tenda terendam beberapa hari lalu.
“Kami berbicara tentang lebih dari 1,5 juta pengungsi yang tinggal di area terbuka—di atas reruntuhan atau tanah berlumpur—tanpa infrastruktur, tanpa saluran pembuangan, tanpa peralatan apa pun.”
Ia menjelaskan bahwa tenda yang terus tergenang berpotensi memicu penyakit, memperluas kontaminasi air, dan membuat ribuan keluarga kehilangan satu-satunya tempat berlindung.
Semua ini, tegasnya, merupakan akibat langsung dari blokade Israel yang menghalangi masuknya material dasar untuk membangun hunian sementara yang layak.
Seruan untuk Dunia: “Bertindak Hari Ini… Sebelum Kamp-Kamp Pengungsi Berubah Menjadi Kuburan Terbuka”
Dalam pesannya, al-Thawabteh menyerukan dua langkah mendesak:
1. Respon cepat:
- Mengizinkan masuknya tenda tahan hujan, selimut, matras, perlengkapan isolasi, dan bahan dasar lainnya.
- Menyediakan bahan bakar untuk rumah sakit, pompa air, dan fasilitas sanitasi.
- Memastikan konvoi bantuan tidak diserang atau dihalangi.
2. Mengakhiri blokade:
- Tekanan hukum dan politik untuk membuka seluruh gerbang masuk Gaza.
- Menjamin aliran makanan, obat, dan bahan bakar tanpa syarat.
“Yang kami hadapi di Gaza adalah kejahatan yang terus berlangsung,” ujarnya. “Dunia harus bertindak sebelum kamp-kamp ini berubah menjadi kuburan terbuka akibat dingin, hujan, dan kelaparan.”










