Spirit of Aqsa, Palestina- Penderitaan di Palestina melahirkan anak-anak kuat secara mental. Kondisi keras memaksa anak-anak tumbuh dengan tugas-tugas berat sperti yang dipikul orang tua. Umumnya, anak-anak di lokasi pengungsian turut andil dalam membantu kehidupan keluarga hingga mengatur urusan sehari-hari.
Anak Adham Nusair (13 tahun) duduk di depan kompor primitif setelah sekian lama mengumpulkan kayu dan karton untuk menyalakan api. Dia hendak menyiapkan roti untuk keluarganya, yang mengungsi di Sekolah Menengah Doha di kota Rafah , di ujung selatan Strip.
Keluarga Nusair mengungsi dari rumah mereka di kota Beit Hanoun, Jalur Gaza utara. “Keinginan saya adalah kembali ke Beit Hanoun dan membangun kembali rumah kami yang hancur,” katanya saat wawancara dengan Aljazeera, Selasa (19/12).
Masa kecil yang Penuh Tantangan
Di ruang kelas tempat para pengugnsi, Adham seharusnya duduk di kursi menerima pendidikan formal di sekolah menengah. Namun kini, dia harus memikul tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Pekerjaan Adham tidak mudah. Palestina saat ini, khususnya di Jalur Gaza, sedang mengalami krisis pangan. Menemukan makanan sangat susah. Itu merupakan terjemahan realistis dari peringatan-peringatan dari organisasi-organisasi internasional mengenai kelaparan yang dihadapi 2,3 juta warga Palestina.
Terlepas dari kerasnya penderitaan yang dialami Adham dan teman-temannya, pemandangan anak-anak ini sudah tidak asing lagi di jalan-jalan dan lapangan umum.
Di depan pintu pusat pengungsian di sekolah-sekolah negeri atau yang berafiliasi dengan UNRWA PBB di kota Rafah, berdiri di “stan penjualan” sederhana untuk menyediakan sebagian kebutuhan keluarga, berupa barang dagangan yang sudah langka di pasar.
Pelajaran Hidup dari Realitas Palestina
Sesaat sebelum fajar menyingsing, kedua bersaudara, Anas (12 tahun) dan Mahmoud (10 tahun), menemani sang ayah Ayman Rayhan (36 tahun), menuju sebuah warung kecil yang ia dirikan menggunakan kayu tua. Warung itu didirikan dekat pusat penampungan di sekolah UNRWA, tempat tinggal keluarganya yang beranggotakan 5 orang.
Anas dan Mahmoud membantu ayah mereka, Ayman, menyiapkan roti, yang populer disebut “roti saj”. Mereka juga menyiapkannya di atas tungku primitif berbahan bakar kayu, untuk mengatasi krisis gas memasak yang parah.
“Saya bekerja dengan ayah saya untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya,” kata Anas.
Ayman belum pernah menekuni profesi ini. Namun, ia menganggapnya sebagai sumber penghidupan, mengingat kebutuhan masyarakat akan roti siap pakai, akibat kelangkaan tepung yang parah, kenaikan harga-harga yang tersedia di pasar sekitar 12 kali lipat, dan ketidakmampuan mayoritas masyarakat yang menderita kemiskinan ekstrim untuk membelinya.
Proses pembuatan roti diawali dari Ayman dengan menguleni, memotong, dan menggembungkan, lalu diteruskan kepada kedua putranya, Anas dan Mahmoud, yang bertugas menggulung adonan menjadi lingkaran-lingkaran berukuran sedang, kemudian mematangkan di kompor sebelum ditawarkan untuk dijual kepada orang yang lewat yang memadati jalanan Rafah.
Anak Jadi Penjual Roti
Tak jauh dari keluarga Rayhan, pengungsi dari Jabalia di Jalur Gaza utara, Ahmed Abu Assi (14 tahun) berseru kepada orang yang lewat sambil menggembar-gemborkan makanan panggang yang dibuat oleh para pengungsi di sebuah apartemen di lingkungan Zaytoun, Kota Gaza.
“Kakek saya, yang mengemukakan ide tersebut, membeli sekantong tepung, dan para wanita menyiapkan kue-kue (makanan panggang) di rumah, dan saya membawanya setiap hari untuk menjualnya di pasar dari pagi sampai malam, supaya kami dapat membeli sayur-sayuran dan kebutuhan-kebutuhan lain sesuai dengan harganya,” ujar Ahmed.
Ahmed merasa puas dengan apa yang didapatnya setiap hari dari menjual makanan yang dipanggang. “Saya menjual setiap hari semua yang disiapkan keluarga saya,” katanya.