Di jantung kota Seoul, Rabu ini, suara denting panci berpadu dengan sunyinya kereta bayi kosong, menjadi simbol luka yang tak terlihat dari Gaza yang terkepung. Para aktivis Korea Selatan kembali menggelar aksi diam di depan gedung pemerintahan, mengecam kekejaman yang terus dilakukan Israel terhadap warga sipil Palestina, khususnya anak-anak yang dirundung kelaparan.
Sebagian dari mereka mengenakan pakaian hitam sebagai tanda duka atas para syuhada Palestina. Di samping kaki mereka, kereta bayi tanpa isi berdiri diam, menggambarkan perpisahan yang terlalu dini antara anak-anak Gaza dan kehidupan yang layak.
Seruan mereka lantang dan tajam: hentikan genosida, cabut blokade, dan akhiri keheningan dunia atas penderitaan yang mengalir dari rumah ke rumah di Jalur Gaza. Aksi ini bukan yang pertama, rangkaian protes solidaritas terus digelar sejak perang kembali meletus pada 7 Oktober 2023.
Setiap Sabtu, mereka turun ke jalan, membela Palestina, menolak perang, dan melawan ketidakadilan. Bendera Palestina berkibar di tangan mereka, dan teriakan mereka menggema menantang sikap internasional yang memelihara ketimpangan.
Sementara itu, perang Israel yang disokong Amerika Serikat terus menelan nyawa. Lebih dari 60.000 jiwa gugur, dan hampir 146.000 lainnya terluka. Gaza bukan hanya hancur secara fisik, ia direnggut dari dalam: oleh kelaparan, pengungsian, dan pembunuhan massal yang menargetkan bahkan anak-anak yang belum sempat belajar melafalkan kata “rumah”.
Kini, dari Seoul ke Gaza, suara solidaritas menyambung. Sebuah seruan dari Timur Jauh: bahwa kemanusiaan tak boleh dibungkam, dan luka Palestina adalah luka dunia.
Sumber: Al Jazeera