‘Haruskah kita pergi ke Sinai dan meninggalkan tanah kita? Saya lebih baik mati di Gaza daripada mempertimbangkan untuk meninggalkan wilayah ini,’ kata warga Gaza.
Di tengah ancaman serangan Israel yang mematikan, warga Palestina yang mengungsi di kota Rafah, selatan Jalur Gaza mengatakan mereka tidak akan meninggalkan daerah tersebut meskipun ada kekhawatiran akan adanya operasi darat tentara Israel ke daerah Rafah.
Lebih dari 100 orang syahid dan ratusan lainnya menderita luka-luka dalam serangan yang dilancarkan tentara Israel di Rafah pada malam hari.
Sumber-sumber lokal melaporkan, pesawat-pesawat tempur Israel melancarkan sekitar 40 serangan udara secara bersamaan dengan tembakan artileri yang intens dan tembakan keras dari kapal perang, menargetkan banyak rumah dan masjid, yang menampung para pengungsi.
Kota Rafah, yang terletak di dekat perbatasan Mesir di selatan Jalur Gaza, telah menjadi tempat berlindung bagi hampir setengah dari 2,3 juta penduduk Gaza setelah masuknya ribuan orang yang mengungsi akibat serangan Israel.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant telah mengumumkan selama kunjungannya ke kamp pasukan Israel di daerah Khan Yunis di Jalur Gaza pada 1 Februari bahwa mereka akan melakukan serangan darat di kota Rafah yang berbatasan dengan Mesir.
‘Kami lebih memilih mati di Gaza daripada bermigrasi ke Sinai’
Warga Palestina yang mengungsi di Rafah mengatakan keprihatinan atas invasi darat Israel yang dapat menyebabkan pembunuhan massal dan kejahatan terhadap warga sipil.
Seorang warga Palestina mengatakan kepada Anadolu tentang penolakan mereka terhadap segala upaya untuk mengeluarkan mereka dari Jalur Gaza, dengan mengatakan, “Kami lebih memilih mati di Gaza daripada bermigrasi ke Sinai.”
Raid al-Shurafa, warga Gaza berusia 62 tahun, mengatakan, “Kami akan mati di sini. Kami tidak akan bermigrasi ke Sinai di Mesir. Mereka memaksa kami keluar rumah dengan mengebom, jika tidak, kami tidak akan pergi. Mereka mengebom Sekolah Abu Bakr al-Siddiq, dan anak saya menjadi syahid di sana.”
Shurafa juga mengatakan putranya yang lain juga ditahan oleh tentara Israel, dan dia harus mengungsi dari tengah Gaza ke Rafah agar tidak meninggalkan cucu-cucunya sendirian, meski dia sebenarnya tidak ingin meninggalkan rumahnya.
“Bahkan jika mereka membunuh saya, saya tidak akan meninggalkan Rafah. Tidak mungkin, ini bukan hanya pendapat saya, tapi keinginan seluruh masyarakat. Bagaimana kami bisa melakukan ini? Haruskah kami pergi ke Sinai dan meninggalkan tanah kami? Saya lebih memilih mati di Gaza daripada mempertimbangkan untuk pergi dari sini,” sebut dia.
Ezhar Hamdi juga menolak sepenuhnya gagasan untuk pergi ke Sinai, dengan menambahkan, “Saya lebih baik mati di tanah kebanggaan Gaza, saya tidak pernah mempertimbangkan untuk meninggalkan Rafah.”
Dia menyebut masyarakat tidak akan pernah menerima pembentukan permukiman kembali di Sinai.
“Apakah tidak cukup bagi mereka untuk mengusir kami dari tanah kami? Kami tidak menerima, dan tidak akan menerima, dimukimkan kembali di Sinai. Di mana pun kami berada, ke mana pun kami pergi, mereka melakukan kejahatan terhadap kami, dan tidak ada yang peduli,” ujar dia.
‘Jika tentara Israel masuk ke Rafah, mereka akan lakukan genosida’
Hajji Ibrahim Avvad, seorang warga Palestina berusia 63 tahun, menyatakan bahwa mereka sebelumnya telah mendengar ancaman dari tentara Israel bahwa mereka akan melancarkan operasi militer di Rafah setelah mengusir orang-orang dari utara Gaza ke selatan.
“Jika tentara Israel memasuki Rafah, mereka akan melakukan pembantaian dan genosida terhadap warga sipil yang tidak bersalah,” ujar dia.
“Kemana kita akan pergi? Berapa lama lagi saya harus hidup? Lebih baik kita mati di sini, di negara kita,” imbuh dia.
Wafa Ahmed, seorang wanita Palestina yang harus mengungsi dari tengah Gaza ke Rafah, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tentara Israel akan melakukan pembantaian dan genosida terhadap para pengungsi yang memenuhi jalan-jalan Rafah.
Ahmed mengatakan, situasi di Rafah menjadi sangat sulit akibat masifnya serangan dan pemboman yang dilakukan tentara Israel dalam beberapa hari terakhir.
Dia menolak gagasan untuk mengungsi ke Sinai atau ke mana pun di luar wilayah Palestina.
Tidak ada tempat aman tersisa di Jalur Gaza
Kusay Abdullatif, seorang remaja berusia 19 tahun di Gaza, mengatakan mereka khawatir dengan serangan darat Israel di Rafah, tempat ratusan ribu warga sipil mengungsi.
Abdullatif juga menolak usulan untuk meninggalkan Rafah, dan dia mengatakan Rafah telah dipenuhi pengungsi.
“Di mana-mana ramai. Tidak ada lagi tempat aman yang tersisa di Jalur Gaza,” ujar dia.
Para pemuda Gaza mengungkapkan ketidakpercayaan dan keheranan mereka atas diamnya masyarakat internasional dalam menghadapi pembantaian Israel dan kebijakan pemindahan paksa terhadap rakyat Palestina.