“Maut sudah sedekat itu.” Begitu kata Izzat Sultan (75 tahun) saat mengenang malam menakutkan di bulan Ramadan lalu. Ia dan 19 anggota keluarganya lolos dari kobaran api yang melahap tenda mereka di kamp pengungsian sebelah barat Khan Younis, Gaza selatan—sebuah keajaiban yang ia yakini sebagai bentuk perlindungan ilahi.

Malam itu, ledakan dari serangan udara Israel mengoyak keheningan. Satu tenda jadi sasaran, api menyambar cepat ke puluhan tenda lain yang hanya terbuat dari plastik dan kayu seadanya. Sultan terbangun dalam ketakutan; api membakar, tenda runtuh di atas kepala, dan ia sempat mengira semua akan berakhir di sana.

Selama perang sejak 7 Oktober 2023, ia sudah banyak kehilangan. Tapi malam itu, kata dia, kematian terasa paling dekat. Tubuhnya yang dulu tegap sebagai guru olahraga kini ringkih, menggigil dalam dingin malam. Perang memaksanya bertumpu pada tongkat dan kehilangan segalanya—termasuk rumah empat lantai yang ia bangun dari hasil kerja puluhan tahun di Arab Saudi.

“Saya habiskan hidup untuk membangun rumah itu. Tabungan seumur hidup. Tapi semuanya lenyap, dan kami terpaksa tidur di reruntuhan tenda kami yang terbakar,” ujar Sultan dengan suara pelan tapi tegas.

Saat harga tenda melonjak drastis akibat penutupan total perlintasan Gaza sejak 2 Maret, ia tak tahu harus bagaimana. Mendapat bantuan dari lembaga amal, ia memilih tetap membangun kembali tendanya di lokasi yang sama. “Kalau saya pergi, orang lain akan takut. Padahal tak ada tempat aman di Gaza. Dan mencari ruang cukup untuk tiga tenda saja sudah sangat sulit.”

Garis wajahnya memuat kisah perjalanan jauh dari satu negeri ke negeri lain, sebelum akhirnya ia memilih pulang ke Rafah—kota yang kini nyaris rata dengan tanah. Lebih dari 300.000 warga Rafah dipaksa mengungsi, dan Izzat, yang juga seorang ayah dari syuhada bernama Yasser (gugur 2004), menegaskan, “Mereka tak akan berhasil mengulangi Nakba. Kami tidak akan pergi. Sekalipun mereka membunuh dan menghancurkan.”

Sejak Rafah digempur pada Mei lalu, Sultan dan keluarganya sudah pindah lima kali. “Tenda kami sobek berkali-kali, tapi tekad kami tidak. Kami akan kembali ke Rafah. Bahkan, ke Bureir—kampung asal kami saat Nakba 1948.”

Bertahan di Tengah Putus Asa

Di dekat tenda usang yang tak henti diombang-ambing angin, Raed Abu Dan (46 tahun) duduk menatap tanah, memeluk anak laki-lakinya yang menderita disabilitas mental. Ia telah mengungsi enam kali sejak perang dimulai.

Dulu, ia bekerja di sebuah restoran. Tapi perang membuat semuanya berhenti. Ia tak punya cukup uang untuk sewa mobil pengangkut saat harus kembali mengungsi. Tanpa tenda, ia membuat sendiri tempat berteduh dari potongan kayu dan sehelai terpal tua dari UNRWA.

Ketika ditanya apakah ia ingin pergi dari Gaza, jawabannya langsung:
“Demi Tuhan, sekalipun kepala saya harus dipenggal, saya tidak akan pergi dari sini.”
Bagi warga Gaza, kalimat itu bukan sekadar sumpah, tapi bentuk perlawanan.
Ia yakin rumahnya telah hancur, tapi itu bukan alasan untuk menyerah.
“Kita akan bangun lagi negeri ini. Ini tanah kita, bukan untuk orang asing.”

Blokade, Kelaparan, dan Strategi Pemaksaan Pengungsian

Krisis ketiadaan tenda menjadi salah satu momok terbesar bagi ratusan ribu pengungsi di Gaza. Israel memanfaatkan situasi ini—memaksa rakyat Gaza meninggalkan rumah mereka lewat bombardir bertubi-tubi dan pelarangan bantuan kemanusiaan.

Dalam perjanjian gencatan senjata (19 Maret – 7 April), seharusnya 200.000 tenda dan 60.000 unit rumah portabel masuk Gaza. Namun hingga kini, hanya sekitar 10% dari jumlah tenda itu yang benar-benar berhasil masuk. Rumah portabel? Tak satu pun.

Menurut UNRWA, sekitar 69% wilayah Gaza saat ini termasuk dalam “zona evakuasi” atau “daerah terlarang”—bahkan bisa keduanya sekaligus. Dalam sebulan terakhir saja, Israel mengeluarkan lebih dari 20 perintah evakuasi massal.

Sekitar 420.000 orang kembali mengungsi hanya dalam tiga pekan terakhir. Dan dengan masih berlanjutnya pengeboman serta larangan bantuan masuk, lembaga kemanusiaan kesulitan menyediakan kebutuhan paling dasar: makanan, air, sanitasi, dan tempat berlindung.

Tapi Gaza belum menyerah. Mereka masih mendirikan tenda dari puing, membangun kembali dari abu, dan menolak menyerahkan tanah yang diwariskan para leluhur.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here