Musim dingin yang keras menyergap Jalur Gaza, memperberat beban ratusan ribu pengungsi yang bertahan di tenda-tenda rapuh atau di bangunan yang telah hancur. Hujan deras, suhu yang menggigit, serta runtuhnya hampir seluruh infrastruktur menjadikan keseharian warga sebagai rangkaian krisis yang tak berkesudahan.

Harian Prancis Le Figaro melaporkan, sejak awal musim dingin setidaknya tiga bayi meninggal akibat hipotermia setelah tenda keluarga mereka terendam air. Peristiwa ini menjadi potret telanjang rapuhnya kehidupan warga Gaza, lebih dari dua tahun setelah perang menghantam wilayah itu.

Salah satunya adalah Rahaf Abu Jazar, bayi berusia delapan bulan yang wafat kedinginan di Khan Younis. “Dia baik-baik saja. Saya menyusuinya malam sebelumnya, lalu saya menemukannya membeku dan gemetar,” tutur sang ibu. Dua bayi lain meninggal dengan cara serupa sejak musim dingin dimulai di wilayah yang luluh lantak ini.

Dalam laporan yang ditulis korespondennya di Al-Quds, Stanislas Poyet, Le Figaro menggambarkan keluarga-keluarga yang tinggal di kamp pengungsian di dataran rendah—wilayah yang langsung terendam saat badai pertama datang. Air dan kelembapan merembes ke tenda, selimut dan alas tidur basah, anak-anak terpaksa tidur dengan pakaian lembap demi mencari sisa-sisa kehangatan yang nyaris tak ada.

Tak Ada Apa-Apa

Badai terakhir menenggelamkan kamp-kamp secara menyeluruh. Jalan-jalan yang sudah rusak berubah menjadi kubangan lumpur. Bangunan yang sebelumnya retak runtuh, menewaskan warga yang memilih berlindung di reruntuhan demi menghindari tenda yang tak lagi aman.

Dengan hancurnya jaringan air dan sanitasi, air hujan bercampur limbah, menggenangi jalan dan tempat berlindung. Risiko kesehatan melonjak, seiring peringatan PBB tentang potensi merebaknya penyakit pernapasan.

Juru bicara UNICEF, Jonathan Crickx—yang saat ini berada di Gaza—menyebut suhu malam hari bisa turun hingga 8–9 derajat Celsius. “Hujan deras. Keluarga-keluarga ini tinggal di tenda darurat yang diterpa angin, hanya dilindungi plastik tipis,” ujarnya.

Menurut data PBB, sekitar 1,3 juta warga Palestina masih tanpa hunian layak. Sekitar 850 ribu lainnya tersebar di 761 lokasi pengungsian—kebanyakan di wilayah rendah yang rawan banjir dan miskin perlindungan dasar.

Tim pertahanan sipil melaporkan tenda-tenda terendam sepenuhnya, memaksa keluarga menghabiskan malam dengan berdiri atau berada di luar karena tak ada alternatif. “Tidak ada apa-apa—bahkan dinding untuk bersandar pun tidak,” kata Mirvat (44).

Pilihan yang Mustahil

Di hadapan kenyataan ini, warga Gaza dihadapkan pada pilihan yang sama-sama mematikan: bertahan di tenda yang tak menahan dingin dan hujan, atau berlindung di bangunan retak yang setiap saat bisa runtuh. Pekan ini, sedikitnya 11 orang gugur tertimpa bangunan rusak—keluarga yang terjebak di dalamnya saat mencari perlindungan sementara.

Ibtisam Mahdi (44) memilih bertahan di apartemennya di kawasan Tel Al-Hawa, Kota Gaza. Gedung tiga lantai itu rusak akibat tembakan tank Israel yang menghantam salah satu kolom penyangga, membuat dindingnya miring ke luar. Bersama suami dan dua anaknya, ia berkumpul di bagian yang paling sedikit rusaknya.

“Ketika hujan turun, saya terbangun dalam keadaan basah. Air menetes dari langit-langit ke wajah saya. Angin masuk dari setiap celah. Bahkan jika kami menyalakan pemanas, hangatnya tak bertahan lama,” kata Ibtisam. Namun ia menegaskan, “dalam kondisi seperti ini pun, ini masih lebih baik daripada tenda.”

Meski gencatan senjata mulai berlaku dan pembatasan bantuan sedikit dilonggarkan, kebutuhan kemanusiaan tetap menggunung. Organisasi internasional menegaskan, dingin di Gaza tak lagi sekadar penderitaan musiman—ia telah berubah menjadi ancaman nyata bagi nyawa warga sipil, terutama anak-anak.

Sumber: Le Figaro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here