Faksi-faksi perlawanan Palestina memperingatkan bahwa pusat-pusat distribusi bantuan yang didukung Amerika Serikat di Gaza kini telah berubah menjadi “perangkap maut” yang memang sengaja dipasang untuk membunuh warga Palestina yang kelaparan. Dalam pernyataan resminya, mereka menegaskan bahwa operasi distribusi tersebut tidak hanya mencederai kemanusiaan, tapi juga menjadi bagian dari skenario sistematis untuk menghentikan peran UNRWA dan menghapus sepenuhnya perjuangan Palestina.

Melalui siaran pers pada Ahad (4/6), faksi perlawanan menyerukan tekanan internasional terhadap Israel dan pemerintah AS agar segera mengembalikan mekanisme distribusi bantuan ke tangan lembaga-lembaga resmi PBB. Mereka juga mendesak organisasi hak asasi manusia, baik internasional maupun Arab, untuk menuntut perusahaan AS yang menjalankan operasi distribusi mencurigakan dan bertanggung jawab atas kesyahidan lebih dari 126 warga Palestina sejauh ini.

Faksi-faksi itu juga memperingatkan rakyat Palestina agar tidak terjebak dengan janji-janji palsu dari pendudukan Israel atau dari para “agen dan pencuri yang menjadi anteknya”. Mereka meminta keluarga-keluarga dan lembaga sosial Palestina untuk menolak semua upaya Israel dalam menciptakan pengganti-pengganti mencurigakan untuk menggantikan UNRWA.

Perangkap Bantuan: Maut Dibungkus Karung Tepung

Sejumlah organisasi hak asasi manusia di Palestina telah berkali-kali memperingatkan bahwa pusat distribusi bantuan yang dikendalikan Israel dan AS berubah menjadi arena pembantaian. Warga yang kelaparan datang untuk mencari sebutir roti, namun malah disambut peluru dan kematian.

Masyarakat Gaza tidak punya banyak pilihan. Jalan ke pusat bantuan itu penuh risiko, tetapi mereka tetap menempuhnya karena anak-anak mereka menunggu makanan—atau maut.

PBB telah memperingatkan bahwa kelaparan yang terjadi di Gaza adalah akibat dari kebijakan Israel yang disengaja untuk memaksa pengosongan massal. Dengan menutup seluruh jalur bantuan sejak Maret lalu, Israel telah mendorong 2,4 juta warga Gaza menuju jurang kelaparan, menurut laporan Kantor Media Pemerintah di Gaza.

Ben Gvir Tolak Bantuan, Minta Penjelasan pada Netanyahu

Di sisi lain, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, menuntut penjelasan dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengenai sumber pendanaan “bantuan kemanusiaan” ke Gaza. Dalam surat yang dikirimnya, Ben Gvir memprotes keras bantuan tersebut yang ia klaim “dibayarkan oleh pajak warga Israel” dan menyebut bantuan itu justru melemahkan operasi militer serta menghambat pembebasan sandera.

Mulai 27 Mei lalu, Israel menjalankan skema baru penyaluran bantuan melalui lembaga bayangan bernama “Lembaga Kemanusiaan Gaza.” Namun alih-alih bernuansa kemanusiaan, proses penyalurannya justru menuai kecaman dunia.

Warga miskin dipaksa melewati jalur distribusi yang menyerupai kandang besi berduri, dalam pemandangan yang menghina harkat kemanusiaan. Bantuan yang masuk pun sangat minim—hanya puluhan truk per hari—padahal Gaza membutuhkan setidaknya 500 truk bantuan harian untuk sekadar bertahan hidup.

Genosida yang Disokong AS, Bencana yang Masih Berlangsung

Sejak 7 Oktober 2023, Israel—dengan dukungan penuh Amerika Serikat—menjalankan genosida terbuka terhadap penduduk Gaza. Hingga kini, lebih dari 180.000 warga Palestina gugur atau terluka, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Sementara itu, lebih dari 11.000 orang masih hilang, dan krisis kemanusiaan terus memburuk setiap hari.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here