Di tengah gelombang agresi brutal yang tak kunjung reda, Mahkamah Agung Israel kembali membuka jalan bagi kejahatan kolektif baru: membolehkan penghancuran massal rumah-rumah warga Palestina di Kamp Pengungsi Jenin, Tepi Barat.
Putusan ini menyusul penolakan terhadap petisi darurat yang diajukan lembaga HAM Arab-Israel, Adalah, yang sejak awal berjuang menghentikan rencana penghancuran terhadap sekitar 90 bangunan sipil. Alih-alih menegakkan keadilan, pengadilan justru mengamini dalih militer bahwa penghancuran ini “penting untuk mobilitas pasukan Israel” —alasan yang menafikan hukum internasional sekaligus rasa kemanusiaan.
Ironisnya, wilayah yang ingin diratakan itu kini kosong dari penduduk dan tak lagi menjadi medan konfrontasi. Tapi bagi otoritas Israel, itu bukan soal. Karena bagi mereka, logika penghancuran lebih penting daripada nyawa dan hak asasi.
Ini bukan yang pertama. Mei lalu, pengadilan menolak gugatan terhadap penghancuran lebih dari 100 rumah di kamp pengungsi lain: Nur Shams dan Tulkarm. Setiap putusan serupa hanya menegaskan satu hal: sistem hukum Israel bukan pelindung keadilan, melainkan perpanjangan tangan kekerasan negara.
Kini, lebih dari 40.000 warga Palestina di Tepi Barat telah terusir dari rumah mereka akibat operasi militer. Di saat dunia mengutuk genosida di Gaza yang menewaskan lebih dari 185.000 orang dan menenggelamkan wilayah itu dalam kelaparan dan reruntuhan, Tepi Barat pun tak luput dari kebijakan pemusnahan yang terencana.
Pengusiran. Penghancuran. Penghilangan. Pembiaran. Ini bukan sekadar kejahatan, ini adalah pesan terang: tidak ada tempat aman bagi rakyat Palestina —tidak di Gaza, tidak di Al-Quds, dan kini, tidak juga di Jenin.