Setiap kotak bantuan kini jadi rebutan hidup dan mati di Gaza. Lembaga bantuan kemanusiaan asal AS, Gaza Relief Foundation (yang beroperasi di bawah pengawasan Israel) mengubah distribusi makanan menjadi medan penghinaan massal. Bukan lagi tempat harapan, melainkan ladang kekacauan, darah, dan luka.
Dalam video viral yang direkam oleh aktivis Arab-Yahudi Alon-Lee Green, ribuan warga Gaza tampak berebut kotak makanan dengan desakan putus asa. “Ini bukan film fiksi, ini neraka buatan manusia,” katanya. “Beginilah wujud kemanusiaan yang dirampas: orang bertaruh nyawa hanya untuk makan.”
Sejak Israel memperketat blokade total pada Maret lalu, 2,1 juta warga Gaza mengalami krisis pangan ekstrem. Bantuan dilempar begitu saja, tanpa sistem, tanpa hormat. Yang kuat dapat, yang lemah terinjak. Sementara, di Facebook, lembaga ini sekadar mengumumkan: “Jangan dekati gerbang sebelum kami buka, ini zona militer.”
UNRWA, lembaga kemanusiaan PBB yang selama 75 tahun menjadi andalan di wilayah pendudukan, kini dilarang beroperasi di Gaza. Sebagai gantinya, rakyat dipaksa antre di titik-titik distribusi seperti Netzarim, yang lebih mirip jebakan maut. Rumah sakit Al-Awda dipenuhi korban luka, dibawa dengan gerobak karena ambulans pun dilarang masuk.
Yang kelaparan bukan hanya tubuh, tapi juga harga diri. “Keponakan saya dirampok dalam perjalanan pulang,” kata Faiz Abu Ahmad. “Kami bahkan harus bawa pisau kecil untuk jaga diri. Tapi jangan sampai terlihat. Orang Amerika itu juga bisa menembak kami.”
Kelaparan di Gaza bukan sekadar bencana kemanusiaan. Ini adalah sistematisasi penghinaan. Bantuan disalurkan dengan logika militer, bukan kemanusiaan. Gaza kini tak hanya diblokade, tapi juga direndahkan setiap hari.