Sebuah video memilukan merekam momen ketika seorang anak laki-laki Palestina yang terluka terlempar ke bangunan sebelah akibat dahsyatnya ledakan. Tubuh mungilnya terhuyung, dilingkupi debu dan darah, namun tangannya tetap terangkat tinggi—not untuk melambaikan selamat tinggal, melainkan untuk berteriak: Aku masih hidup! Di sekelilingnya, puing-puing rumahnya telah menjadi kuburan bagi orang-orang yang ia cintai.
Serangan udara Israel yang menyasar sebuah rumah di Jalan Al-Yarmouk, Gaza, bukan hanya menghancurkan bangunan itu, tapi juga memusnahkan isi hati seorang anak: ayahnya gugur, lima saudari perempuannya syahid, dan ibunya kini terluka parah. Bocah itu bernama Ali Faraj Faraj, seperti dikonfirmasi jurnalis Al Jazeera, Anas Al-Sharif.
Rekaman itu viral di berbagai platform media sosial, direkam oleh jurnalis dan aktivis Palestina Mahmoud Shallah, dan menyisakan pertanyaan tajam di benak banyak orang: Sampai kapan pembantaian ini dibiarkan tanpa pertanggungjawaban?
Gambaran ini bukan potret insidental. Ini adalah fragmen dari rutinitas harian warga Gaza—yang semakin sering disebut ‘biasa’ padahal sejatinya tak pernah layak untuk dibiaskan. Lambaian tangan seorang anak berdarah-darah itu bukan sekadar isyarat minta tolong. Ia adalah dakwaan yang menggema lebih keras dari letusan bom: di mana dunia saat ribuan anak tak bisa lagi mengangkat tangannya?
Dalam bayang-bayang genosida yang terus berlangsung di Gaza, satu pertanyaan terus menggema dari reruntuhan yang belum kering oleh darah:
Berapa banyak anak lagi yang harus mengangkat tangan seperti Ali sebelum dunia akhirnya benar-benar bergerak?