Spirit of Aqsa, Palestina- Tingkat kemiskinan dan harga pangan dilaporkan meningkat secara dramatis di Gaza. Ribuan keluarga Palestina yang tinggal di kantong pesisir harus terus berjuang selama bulan suci Ramadhan ini.
Seorang ibu berusia 44 tahun yang tinggal di kamp pengungsi al-Shatea, Gaza barat, menggambarkan betapa semakin sulit baginya dan keluarga untuk bertahan hidup. Ia merupakan ibu dari sembilan orang anak.
Selama Ramadhan, umat Islam umumnya menjalankan puasa dari fajar hingga matahari terbenam. Di sore hari, berbagai hidangan lezat dan manisan akan disiapkan untuk berbuka puasa.
Namun bagi Jomana dan keluarga, hal itu hampir tidak mungkin dilakukan. Kondisi ini semakin dipersulit sejak suaminya mengalami kecelakaan dan kehilangan pekerjaan pada 2010 lalu.
“Hidup kami terbalik karena kami kehilangan satu-satunya sumber penghasilan. Setelah prosedur rumit yang memakan waktu tiga tahun, saya mulai menerima sekitar 500 dolar AS sebagai bantuan keuangan dari Kementerian Sosial yang dipimpin PA, setiap tiga atau empat bulan,” ujar Jomana dikutip di The New Arab.
Anggaran keuangan itu disebut hampir tidak dapat membantu ia menghidupi keluarganya pada hari-hari biasa. Kondisi ini semakin parah mengingat dia belum menerimanya selama lebih dari lima bulan terakhir.
Jomana pun berupaya memperoleh sejumlah uang dari kerabat dan tetangganya. Dia juga membatasi pembeliannya untuk kebutuhan pokok, seperti sayur, nasi, gula, teh dan roti, tanpa membeli daging.
“Pasar di Gaza mengalami peningkatan luar biasa untuk harga semua barang, terutama unggas, yang harganya sekitar 25 dolar untuk membeli tiga ekor ayam,” kata dia.
Ia pun mengaku tidak mampu memasak ayam untuk keluarga selama enam hari berturut-turut. Sebagai gantinya, ia menyiapkan beberapa hidangan daging sapi beku yang diimpor dari Israel sebagai pengganti yang lebih murah.
Warga gaza lainnya, Ensaf Dohan, merupakan seorang ibu berusia 64 tahun dari tujuh anak. Ia belum menerima bantuan dana senilai 200 dolar AS dari urusan sosial selama lebih dari empat bulan, sehingga menghadapi kondisi mengerikan yang serupa.
“Saya tidak punya sumber penghasilan lain karena suami sudah lanjut usia dan sakit. Saya kebanyakan bergantung pada sup dan nasi untuk menyiapkan makan malam buka puasa Ramadhan setiap hari,” ucap dia.
Dohan menyebut dirinya tidak bisa memasak setiap hari karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli bahan dasar masakan. Ia lebih memilih untuk menyimpan uangnya dan diberikan kepada dua cucu yang tinggal bersama dia dan suami.
Jomana dan Ensaf merupakan salah satu dari sekian warga Gaza yang tinggal di rumah-rumah kecil bobrok, yang penuh dengan kelembapan dan dinding yang runtuh.
Di sisi lain, para pedagang di Gaza mengaitkan harga yang melonjak dengan pajak baru dan kenaikan bea cukai pada berbagai barang yang diimpor ke wilayah di pesisir pantai. Kebijakan tersebut baru-baru ini diberlakukan oleh gerakan Hamas yang berkuasa.
“Beberapa pajak impor dan barang lainnya mencapai 120 persen. Ini menambah beban pedagang dan klien pada saat yang sama,” kata seorang pedagang buah dan sayuran, Hani al-Rifi.
Dengan diberlakukannya kebijakan pajak baru ini, ia mengaku mengalami kerugian yang besar dan keuntungan yang terbatas. Kondisi tersebut memaksa para pedagang untuk menaikkan harga, sementara pembeli akan mengurangi jumlah barang yang mereka bawa pulang.
Di Gaza, tingkat kemiskinan di kalangan penduduk lokal mencapai 64 persen dan tingkat kerawanan pangan naik menjadi 70 persen. Menurut data statistik resmi yang dikeluarkan oleh Kamar Dagang di Gaza pada 2023, tingkat pengangguran mencapai 50 persen.
“Kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya dan mencerminkan efek bencana dari blokade Israel yang diberlakukan di pesisir pantai sejak 2007,” kata Kepala Kamar Dagang di Gaza, Maher al-Tabaa.