Rami Abu Jamos, seorang jurnalis dari Gaza, menulis memoarnya di laman Orient XXI. Ia mengaku hanya ingin menyampaikan kenangan yang dulu diwariskan orang tuanya, agar bisa ia titipkan pula kepada anak-anaknya. Tapi kini, ketika segala yang membentuk hidupnya terancam musnah, ia merasa harus menuliskannya agar tetap hidup di ingatan orang lain.

Pada 11 September 2025, ia mencatat: sudah hampir seminggu sejak tentara Israel memerintahkan warga untuk meninggalkan Kota Gaza. Pasukan pendudukan kini mengepung kota, dengan strategi baru: mengusir lewat bom, karena warga tak lagi mengindahkan seruan evakuasi.

Israel memberi waktu hanya 15–30 menit untuk keluar sebelum menghancurkan gedung-gedung. Menara-menara di Sheikh Radwan, Shujaiya, Zaitun, hingga Sabra dihancurkan satu demi satu. Setiap menara yang runtuh berarti 40–50 keluarga kehilangan rumah, ratusan jiwa tercerabut sekaligus.

“Rumah bukan sekadar beton dan perabotan,” tulis Rami. “Ia adalah sejarah, kenangan, keluarga. Meruntuhkannya berarti mencabut kami dari akar.” Sama halnya dengan pohon zaitun yang mereka tebang, pohon yang tumbuh bersama generasi, lebih tua dari Israel sendiri, simbol keterikatan rakyat Palestina pada tanah.

Rami bercerita tentang istrinya, Sabah, yang sempat menyarankan memindahkan perabot kamar tidur agar bisa diselamatkan. Tapi ia menolak: “Kalau mereka berhasil mengusir kita dari kota, berarti pada akhirnya kita akan terusir ke negeri asing. Lebih baik kehilangan segalanya sekaligus, daripada memupuk harapan palsu.”

Lebih menyakitkan lagi adalah keputusan tentang kenangan. Foto keluarga, hadiah pernikahan orang tuanya, jam tangan yang diberikan Presiden Yaman kepada ayahnya, hingga kaset pidato Yasser Arafat yang direkam ayahnya, semua benda itu ia tahu akan musnah. “Aku tak bisa memilih,” ujarnya. “Setiap benda terlalu berharga. Mengambil semuanya mustahil, jadi biarlah aku kehilangan semuanya sekaligus.”

Rami mengingat kembali cita-citanya: suatu hari ia ingin menunjukkan foto-fotonya di Lebanon, Tunisia, Prancis, dan Gaza kepada anak-anaknya, sebagaimana ayahnya dulu menunjukkan foto-foto lama. Ia ingin mewariskan sejarah keluarga, sebagaimana orang tuanya yang diusir pada 1948 dan 1967 membawa kisah mereka dalam pengasingan.

Kini ia tahu, kali ini tak ada kepulangan. “Aku kenal Gaza dengan baik,” tulisnya. “Ia adalah benteng terakhir sebelum pengusiran. Jika tembok ini runtuh, kota akan hilang seluruhnya. Kami takkan sempat menyelamatkan apa pun. Semua akan hancur. Semua akan terhapus.”

Tapi meski demikian, ia memilih bertahan di menaranya hingga akhir. “Ini caraku melawan. Selama masih ada orang Palestina, maka Palestina tetap ada.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here