Surat kabar Haaretz Israel menyebutkan, rencana larangan operasional UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) oleh Israel serta penghentian layanan dasarnya di wilayah “Israel” dapat mengancam keberlangsungan gencatan senjata dan membuka jalan bagi pencaplokan Al-Quds Timur.

Undang-undang larangan terhadap UNRWA dijadwalkan berlaku dalam waktu kurang dari dua minggu. Hal ini akan menjadikan aktivitas UNRWA di wilayah Palestina yang berada di bawah kendali Israel, termasuk Gaza, Tepi Barat, dan Timur, sebagai tindakan ilegal.

Ancaman Krisis Kemanusiaan

Chris Gunness, mantan Direktur Komunikasi UNRWA (2007–2020), menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk menjaga stabilitas gencatan senjata adalah dengan membuka semua perbatasan selama 24 jam untuk memasukkan makanan, air, obat-obatan, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.

Ia memperingatkan bahwa penderitaan kemanusiaan di Gaza dapat semakin parah. Saat ini, ratusan ribu penduduk Gaza menghadapi kelaparan, kehausan, dan trauma fisik maupun mental, sementara ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Menurut artikel tersebut, Israel telah menghancurkan 90% bangunan di Gaza selama pembantaian.

Israel Menggantikan UNRWA

Artikel tersebut juga menyebutkan rencana Israel untuk mengambil alih peran UNRWA di sektor kesehatan dan pendidikan di Yerusalem Timur. Israel berencana menguasai 10 sekolah UNRWA, sebuah pusat pelatihan kejuruan, serta 3 pusat kesehatan yang melayani lebih dari 63.500 pengungsi Palestina.

Saat ini, UNRWA mengelola pendidikan bagi 370.000 siswa Palestina. Jika UNRWA dilarang, para siswa ini kemungkinan akan dipindahkan ke sekolah-sekolah Israel. Namun, artikel tersebut mengkritik kurikulum di sekolah-sekolah Israel yang sepenuhnya dikendalikan oleh otoritas Israel. Kurikulum ini sengaja menghapus sejarah Palestina dan simbol-simbolnya.

Pencaplokan Al-Quds Timur

Penulis artikel menilai bahwa pemindahan pengelolaan sekolah dan pusat kesehatan UNRWA di Al-Quds Timur ke otoritas Israel merupakan bentuk aneksasi de facto. Langkah ini bertujuan untuk menghilangkan legitimasi internasional wilayah tersebut dan menjauhkan Al-Quds Timur dari setiap kemungkinan penyelesaian melalui negosiasi.

Penulis juga menyoroti bahwa kebijakan ini dapat membawa dampak negatif besar bagi Israel, termasuk meningkatnya kecaman internasional dan memperkuat upaya untuk mengeluarkan Israel dari PBB, seperti yang terjadi pada Afrika Selatan di era apartheid.

Ancaman Berkelanjutan

Menurut artikel tersebut, kantor pusat UNRWA di Sheikh Jarrah, Al-Quds, menjadi target serangan pembakaran yang disengaja oleh ekstremis Israel, berdasarkan laporan PBB. Selain itu, anggota Knesset sebelumnya telah menyerukan pemutusan pasokan air dan listrik ke gedung tersebut.

Artikel itu juga mengungkap laporan bahwa Otoritas Tanah Israel berencana menyita kantor UNRWA dan menyerahkannya kepada pemukim Yahudi untuk membangun 1.440 unit hunian. Langkah ini disebut sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

UNRWA sebagai Penyelamat

Penulis menegaskan bahwa UNRWA adalah satu-satunya organisasi yang mampu mendistribusikan bantuan dalam skala yang cukup besar untuk mencegah kelaparan di Gaza. Di Al-Quds Timur, sekitar 60.000 pengungsi Palestina bergantung pada fasilitas UNRWA.

Selama perang, 7.000 staf UNRWA memberikan lebih dari 16.000 konsultasi kesehatan setiap hari, yang mencakup dua pertiga dari layanan kesehatan primer di Gaza. Selain itu, mereka menyediakan makanan, air bersih, layanan sanitasi bagi sekitar 2 juta orang, serta dukungan psikososial untuk 750.000 penduduk Gaza.

Namun, UNRWA melaksanakan semua itu di tengah serangan udara Israel yang disengaja, yang menewaskan 266 staf UNRWA hingga 19 Januari lalu.

Sumber: Haaretz

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here