Langkah parlemen Israel (Knesset) yang secara prinsip menyetujui rancangan undang-undang untuk mencaplok Tepi Barat, memunculkan kembali pertanyaan lama: apakah ini sekadar manuver politik oposisi, atau justru bentuk pemberontakan dari dalam kubu kanan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu?

Meskipun Netanyahu berupaya menimpakan tanggung jawab atas tekanan internasional kepada oposisi, kenyataannya, sejumlah tokoh dan partai kanan yang menjadi bagian dari koalisi pemerintah justru mendorong agenda aneksasi ini. Upaya tersebut semakin membuat Israel tampak terisolasi di mata dunia.

Kantor Netanyahu bahkan menyebut pemungutan suara itu sebagai “provokasi politik yang disengaja” oleh oposisi, bertepatan dengan kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat J.D. Vance ke Tel Aviv. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan hal sebaliknya: anggota Knesset dari Partai Likud—partai Netanyahu sendiri—ikut mendukung rancangan tersebut, bersama dua partai ultra-nasionalis, Otzma Yehudit dan Zionisme Religius, yang juga merupakan bagian dari pemerintah.

Pemberontakan di Tubuh Kanan Israel

Beberapa pengamat politik Israel menilai langkah ini bukan sekadar perlawanan oposisi, melainkan sinyal “pemberontakan internal” dari kalangan kanan terhadap Netanyahu. Mereka menilai, sayap kanan kini berusaha keluar dari bayang-bayang Washington, menuntut penerapan “kedaulatan penuh” atas wilayah pendudukan tanpa menunggu restu Amerika Serikat.

Langkah ini membuat Netanyahu terjepit di antara tekanan ekstrem kanan dan komitmen diplomatik terhadap Amerika serta negara-negara Arab. Sejak diberlakukannya gencatan senjata di Gaza pada 10 Oktober lalu, Israel berjanji tidak akan mengambil langkah sepihak untuk mencaplok wilayah Tepi Barat.

Namun, Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa pencaplokan itu “tidak akan terjadi” karena sudah berjanji kepada negara-negara Arab. Ia juga memperingatkan, “Israel akan kehilangan seluruh dukungan Amerika jika tetap memaksakan hal itu.”

Sementara itu, Vance sendiri menyebut langkah Knesset “bodoh dan menjengkelkan,” bahkan jika itu hanya manuver politik.

Retaknya Kanan, Retaknya Pemerintahan

Media Israel Times of Israel melaporkan bahwa faksi kanan ingin menegaskan kegagalan Netanyahu memenuhi janji kampanyenya tentang “penerapan kedaulatan” atas Tepi Barat. Mereka menilai Netanyahu sengaja menggunakan alasan diplomatik untuk menunda aneksasi demi menjaga hubungan dengan Washington.

Seorang sumber kanan yang dikutip media itu mengatakan, pemungutan suara kali ini “bertujuan mempermalukan pemerintah di hadapan publik,” dan memperlihatkan bahwa “mayoritas di Knesset kini mendukung aneksasi, tapi Netanyahu yang menghalanginya demi menyenangkan Amerika.”

Sementara Haaretz mencatat bahwa inisiatif ini berasal dari anggota Knesset ultranasionalis, termasuk Avi Maoz dari Partai Noam, serta dua tokoh penting dalam kabinet—Bezalel Smotrich (Menteri Keuangan) dan Itamar Ben-Gvir (Menteri Keamanan Nasional). Artinya, “yang terjadi bukan perlawanan terhadap oposisi, melainkan perpecahan di dalam tubuh pemerintahan Netanyahu sendiri.”

Antara Tekanan Washington dan Ego Politik

Menurut analisis Haaretz, para legislator sayap kanan sengaja memanfaatkan momentum kunjungan Vance untuk mengirim pesan politik: bahwa “kaum kanan sejati tidak butuh izin Gedung Putih untuk menerapkan kedaulatan.”

Sementara Jerusalem Post melaporkan bahwa Netanyahu terus berusaha memutar narasi dengan menuduh oposisi sebagai pihak yang memprovokasi pemungutan suara. Namun di sisi lain, pemerintahannya tetap “mempersiapkan kondisi yang tepat” untuk melanjutkan aneksasi pada saat yang dianggap menguntungkan secara diplomatik.

Faksi tengah dan kiri, yang dipimpin Yair Lapid dan Benny Gantz, dengan tegas menolak rancangan undang-undang itu. Namun, situasi di Knesset menunjukkan retakan yang semakin dalam di tubuh kanan Israel—antara kelompok yang ingin menegakkan “kedaulatan segera” dan kepemimpinan Netanyahu yang masih bergantung pada restu Washington.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here