Spirit of Aqsa- Penulis Palestina, Naheel Mhanna, dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Washington Post, menggambarkan suasana kebahagiaan yang memenuhi Gaza setelah pengumuman gencatan senjata. Di antara harapan perempuan Gaza adalah “menguburkan para syahid” dan “mengembalikan anak-anak ke sekolah.”
Bertahan Hidup adalah Kemenangan
Mhanna menulis bahwa ketika gencatan senjata diumumkan setelah 466 hari perang, terdengar suara kegembiraan dari masyarakat yang merayakan. Bahkan pengungsi yang berlindung di sebuah sekolah di dekatnya turut bersuka cita, sebuah pemandangan yang sangat berbeda dibandingkan suasana penuh ketakutan dan keputusasaan yang mendominasi beberapa bulan terakhir.
Setelah berita tersebut, Mhanna menerima pesan dari temannya di Kairo yang berbunyi, “Satu-satunya kemenangan dalam perang ini adalah bertahan hidup.” Kata-kata itu begitu membekas di hati Mhanna. Ia memeriksa tubuhnya sendiri untuk memastikan bahwa ia masih utuh dan merenungkan betapa berharganya hidup setelah semua yang terjadi.
Rasa harapan ini tidak hanya dirasakan di Gaza. Menurutnya, warga Palestina di seluruh dunia, dari Mesir hingga Norwegia, juga merayakan dengan membagikan permen di jalanan.
Harapan-Harapan Baru
Mhanna menuturkan bahwa pembicaraan di antara perempuan kini dipenuhi dengan optimisme. Hal ini mendorongnya untuk mengunjungi sebuah salon kecantikan, di mana ia terkejut melihat lima pengantin menunggu giliran, bersama 15 perempuan lain yang ingin merawat diri untuk merayakan gencatan senjata.
Saat menunggu, ia mendengar berbagai ucapan harapan. Salah satu perempuan berkata, “Akhirnya, kita akan punya kesempatan untuk berduka atas para syahid dan mereka yang hilang.” Perempuan lain menambahkan, “Saya bisa memakai pakaian biasa lagi, berdandan, dan merawat diri.”
Harapan-harapan sederhana dan menyentuh lainnya turut diungkapkan, seperti, “Gas akan tersedia lagi, jadi kita tidak perlu lagi menggunakan arang dan kayu bakar,” atau, “Saya ingin makan sayur segar, shawarma, dan es krim.” Ada juga yang berkata, “Anak-anak saya akan kembali ke sekolah dan belajar disiplin,” serta, “Saya ingin duduk bersama suami saya dan melihat wajahnya.”
Mhanna mencatat bahwa kegiatan sehari-hari yang biasa, seperti mandi air hangat tanpa harus menggunakan gayung, atau berjalan dengan aman di jalanan yang terang benderang, kini menjadi impian yang hanya bisa terwujud dengan kebebasan.
Luka yang Tertinggal
Namun di tengah kegembiraan, rasa kehilangan tetap terasa, tulis Mhanna. Di antara harapan yang ia dengar hari itu, ada seorang ibu yang masih menunggu untuk bisa menguburkan anaknya yang terjebak di bawah puing-puing rumah mereka.
Bagi Mhanna, momen ini menjadi pengingat akan luka mendalam yang ditinggalkan perang, bahkan saat masyarakat mulai memandang ke depan untuk membangun kembali, sembari menyembuhkan diri dan mengumpulkan kekuatan.
Sumber: Washington Post