Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menghadapi masalah serius dan kontroversi seputar rancangan undang-undang perekrutan orang Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi) ke dalam militer; yang mengancam kemungkinan pembubaran koalisi pemerintahan.
Pemerintah membahas rancangan undang-undang tersebut pada Selasa, di tengah ekspektasi adanya diskusi sengit antara pendukung dan penentang.
Stasiun penyiaran Israel (resmi) menyatakan, Netanyahu telah memberi tahu menteri dari Partai Likud bahwa dia tidak akan pernah mundur dari persetujuan undang-undang tersebut, dan “tidak akan ada pemerintahan tanpa undang-undang ini”.
Orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks menyumbang sekitar 13 persen dari populasi Israel, mereka tidak bertugas di militer, dan mengklaim bahwa mereka mempersembahkan hidup mereka untuk mempelajari Taurat.
Undang-undang tersebut mewajibkan setiap warga Israel di atas usia 18 tahun untuk melakukan layanan militer, sementara pengecualian bagi Haredi dari layanan militer telah menjadi subjek perdebatan selama beberapa dekade.
Namun, kegagalan mereka untuk bertugas di militer seiring dengan perang yang berkelanjutan di Gaza dan kerugian yang dialami oleh pasukan Israel telah meningkatkan intensitas perdebatan, dengan partai-partai sekuler menuntut agar orang-orang ultra-Ortodoks ikut bertanggung jawab.
Sejak tahun 2017, pemerintah yang berbeda-beda gagal mencapai kesepakatan tentang undang-undang yang menyelaraskan perekrutan Haredi, setelah Mahkamah Agung membatalkan undang-undang yang diberlakukan pada tahun 2015 dan mengabulkan pembebasan mereka dari layanan militer, menyatakan bahwa pembebasan tersebut melanggar “prinsip kesetaraan”.
Sejak saat itu, Knesset (parlemen Israel) telah memperpanjang pembebasan mereka dari layanan militer, dan dengan berakhirnya Maret saat ini, masa berlaku perintah pemerintah yang menunda penerapan wajib militer bagi Haredi berakhir; yang memaksa mereka untuk memberikan tanggapan tertulis kepada Mahkamah Agung tentang langkah-langkah untuk menangani masalah yang rumit ini.
Mahkamah Agung telah mengeluarkan perintah pada bulan Februari yang meminta pemerintah untuk menjelaskan alasan ketidakmampuan merekrut Haredi, menurut surat kabar “Haaretz” pada hari Senin.
Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa pemerintah harus memberikan posisinya kepada pengadilan pada Jumat, 29 Maret, dan jika tidak, pemerintah harus memaksa Haredi untuk melayani pada Senin, 1 April mendatang.
Menurut rancangan undang-undang yang akan diajukan Netanyahu kepada pemerintah pada hari Selasa, “usia pembebasan bagi Haredi (untuk belajar Taurat di seminari-seminari agama) akan ditingkatkan menjadi 35 tahun (dari 26 tahun saat ini), pelaksanaan tidak akan dimulai terhadap mereka yang menghindari layanan militer selama tiga tahun, dan rancangan undang-undang tidak akan menentukan target perekrutan bagi Ortodoks ultra-Religius,” menurut surat kabar tersebut tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Masalah ini kembali mencuat dengan keras pertengahan bulan ini setelah demonstrasi di mana ribuan orang ikut serta meminta perekrutan wajib untuk Haredi.
Namun, Netanyahu mungkin mendapati dirinya menghadapi salah satu mitra dalam pemerintah koalisinya, apakah pemerintah akan menyetujui atau menolak undang-undang perekrutan.
Dengan keras, partai Haredi, seperti “Shas” yang dipimpin oleh Aryeh Deri dan “United Torah Judaism” yang dipimpin oleh Moshe Gafni, menentang penerapan layanan militer bagi Haredi, dan mungkin mengancam untuk mundur dari pemerintah; yang berarti pemilihan umum dini akan diadakan.
Namun, Anggota kabinet perang Israel Benny Gantz mengancam akan mundur dari pemerintahan jika undang-undang baru tentang wajib militer disahkan dalam bentuk naskahnya yang ada saat ini.
Isu kontroversial tersebut memperlebar keretakan di antara anggota rezim Zionis yang berkuasa.
Menurut laporan yang dikutip dari kantor berita Palestina Sama itu, Gantz menyoroti rancangan undang-undang yang didukung Perdana Menteri Netanyahu itu yang jika disetujui akan membebaskan orang-orang Yahudi Haredi ultra-ortodoks dari dinas militer.
Di sisi lain, pemimpin oposisi Yair Lapid juga menyerukan penyegeraan wajib militer terhadap orang-orang Yahudi Haredi.
Isu pengiriman pemuda Haredi untuk wajib militer menjadi salah satu isu kontroversial dalam beberapa tahun terakhir di lingkaran politik rezim Zionis.
Sebelumnya, pemimpin Gerakan Haredi Rabbi Zvi Friedman, mengatakan kematian adalah hal yang lebih baik daripada mengabdi di tentara Zionis.
Banyak pakar dan pejabat rezim Zionis menganggap Haredi sebagai salah satu ancaman di masa depan, karena banyak dari mereka yang tidak percaya pada rezim tersebut.
Kepala Rabbi Yahudi Yitzhak Yosef, yang juga disebut Rabbi Sefardim atau Haredi di wilayah pendudukan Palestina baru-baru ini, memperingatkan kepada rezim tersebut bahwa akan terjadi eksodus massal komunitasnya jika mereka dipaksa untuk bergabung dengan tentara Israel.