Oleh: Ustaz Umar Makka, Lc (Pendiri Sirah Community Indonesia)
Pada tahun 12 Hijriah, Abu Bakar mengirim pasukan kaum muslimin untuk membebaskan Baitul maqdis di negeri Syam, sebagaimana nubuwat Rasulullah SAW. Dia membentuk empat pasukan perang yang dipimpin oleh Amru bin Ash, Abu Ubaidah Al-Jarrah, Yazid bin Abu Sofyan, dan Syurahbil bin Hasanah. Sementara kaum muslimin yang tergabung dalam pasukan itu berasal dari Yaman, Hijaz, Nejed, dan daerah lain di kota Madinah.
Yazid bin Abu Sofyan membawa 7000 pasukan menuju Damaskus, Syurahbil bin Hasanah membawa 3000-4000 pasukan menuju Bashrah atau Yordania, Abu Ubaidah Al-Jarrah membawa 3000-4000 menuju Hams, dan Amru bin Ash bersama 7000 pasukannya menuju Palestina.
Sebagaimana mimpi Syurahbil bin Hasanah dan prediksi para sahabat bahwa pembebasan Baitul Maqdis di negeri Syam tidak akan semudah penaklukan Persia. Pembebasan Syam akan mengalami ujian berat dan tantangan berat. Di antaranya, pasukan kaum muslimin akan menghadapi pasukan terkuat di muka bumi saat itu, yakni Romawi. Selain itu, Romawi juga dikenal memiliki peralatan perang yang sangat canggih.
Selain kekuatan Romawi, kaum muslimin juga akan melewati iklim geografi dari Madinah menuju Syam yang sangat berat. Jarak antara kota Madinah sampai di cek poin pertama menuju negeri Syam sekitar 600 KM. Ini artinya, saat pasukan kaum muslimin meminta bala bantuan dari Madinah, maka tentara bantuan akan menempuh perjalanan yang sangat jauh. Sementara, Romawi sangat mudah menambah pasukan dan mengirim amunisi ke lokasi perang.
Tidak bisa dipungkiri perjalanan Madinah ke Syam yang memakan waktu dua bulan perjalanan membuat panglima kaum muslimin kewalahan dengan stamina pasukan mereka. Mereka khawatir jarak tersebut membuat semangat tempur dan kesabaran pasukan menguap terpapar teriknya matahari padang pasir.
Dengan pertimbangan tantangan-tantangan tersebut, ditambah pasukan Romawi yang mencapai 240.000 orang, akhirnya ada beberapa perubahan di lapangan. Empat komandan perang yang semula diberi tugas masing-masing sepakat untuk menyatukan pasukan dan berkumpul di satu tempat, yaitu di daerah Bashrah. Ini mengingat mereka harus melawan kekuatan perang Romawi dengan peralatan lengkap, ditambah lagi komunikasi antar komandan tidak mudah.
Setelah keputusan itu diteken, para komandan itu sepakat mengirim surat kepada Abu Bakar AshShiddiq perihal keputusan tersebut. Abu Bakar yang kala itu berada di Madinah menyetujui keputusan mereka. Kendati setuju, Abu Bakar melihat harus ada komandan yang secara menyeluruh mengetuai semua pasukan kaum muslimin.
Abu Bakar lalu mengirim surat kepada Khalid bin Walid yang saat itu masih berada di Irak untuk urusan militer. Dia meminta Khalid bin Walid untuk bergabung dengan pasukan kaum muslimin di negeri Syam. Dalam surat itu, Abu Bakar berkata, “Jika surat itu telah sampai kepadamu wahai Khalid bin Walid, maka segeralah bawa pasukanmu dari Irak menuju Syam.”
Langkah Cerdas Khalid bin Walid
Setelah mengetahui detail lapangan di Syam, Abu Bakar memandang perlu ada peralihan kepemimpinan agar semua pasukan dalam satu komando. Perang melawan 240.000 pasukan Romawi membutuhkan komandan perang yang berpengalaman dan ahli strategi.
Dia lalu memerintahkan Khalid bin Walid membagi dua pasukannya yang saat itu masih berada di Irak. Pasukan kaum muslimin yang tinggal di Madinah diambil alih oleh Al-Mutsanna bin haritsah. Khalid bin Walid lalu berangkat menuju Syam untuk membantu pasukan kaum muslimin melawan pasukan Romawi.
Tanpa pikir panjang, Khalid bin Walid langsung membentuk batalyon yang kuat sebanyak 10.000 pasukan. Pasukan tersebut terdiri dari para panglima yang berpengalaman seperti Al-Qa’qa bin Amr At-Tamimi, Dharar bin Al-Khattab, Dharar bin Al-Azwar, dan lain sebagainya.
Kecerdasan Khalid bin Walid terlihat saat berangkat ke Syam. Dia memilih melewati gurun-gurun yang bergelombang dan memiliki sumber air yang langka, sehingga pergerakan pasukan tidak mencolok. Kentur tanah bergelombang menyembunyikan pasukan dari penglihatan. Sementara sumber air langka membuat orang-orang jarang tinggal atau melewati tempat tersebut. Dengan demikian kerahasiaan kedatangan pasukan tetap terjaga. Tentu hal ini membutuhkan penguasaan geografis yang kuat.
Khalid mendiskusikan bagaimana solusi kebutuhan air pasukan dengan penunjuk jalannya, Rafi’ bin Amirah. Rafi’ menyarankan agar semua pasukan membawa air semampu mereka masing-masing. Sedangkan kuda-kuda mereka disiapkan sumber air sendiri. Mereka membawa 20 onta yang besar. Onta-onta meminum air yang banyak. Kemudian pada saatnya nanti mereka disembelih dan dimanfaatkan simpanan air di tubuh mereka untuk kuda-kuda yang kehausan. Sedangkan dagingnya dimakan oleh pasukan.
Rute perjalanan pasukan Khalid adalah Qarqarah Suwa, Arch, Palmyra, al-Qaryatayn, Huwwarin, Marj Rahit, Bosra, dan tujuan terakhir Yarmuk. Pasukan ini berjalan melibas padang pasir di saat malam, pagi, dan menjelang siang. Karena di waktu-waktu tersebut cuacanya tidak panas. Selain menghemat energi, cara ini juga menjaga penggunaan air agar tidak boros.
Sesuai perintah Abu Bakar, saat Khalid tiba di Syam dan bergabung dengan pasukan kaum muslimin, dia langsung diangkat menjadi komandan perang. Dalam surat yang diterima Khalid bin Walid, Abu Bakar menyampaikan bahwa dia dalah komandan semua pasukan kaum muslimin yang sudah ada di Syam.
Surat serupa juga telah disampaikan kepada sahabat Abu Ubaidah Ibnu Al-Jarrah, “Akan datang kepada kalian bala bantuan dari Irak yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, dan jika Khalid bin Wlaid sudah sampai ke negeri Syam, maka wahai Abu Ubaidah maka jadikanlah Khalid bin Walid sebagai pemimpin kaum muslimin secara umum.”
Tidak mudah bagi seseorang berlapang dada jika jabatannya diambil alih. Namun rupanya, para sahabat Rasulullah SAW tidak berangkat ke medan perang untuk mencari popularitas. Mereka hanya mencari ridha Allah SWT. Maka ketika Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan semua pasukan, semua sahabat dan empat komandan sebelumnya menerima keputusan Abu Bakar itu dengan lapang dada. Misalnya Abu Ubaidah Al-Jarrah, ketika dia menerima surat Abu bakar dia berkata, “Semoga Allah memberkati Abu bakar atas keputusan yang telah diambil.”
Kecamuk Sebelum Yarmuk
Pada tahun 13 Hijriah, sebelum perang Yarmuk meletus, Khalid bin Walid terlebih dahulu memimpin pasukan dalam perang Ma’rakatul Ajnadin. Ini merupakan peperangan terbesar sebelum peperangan Yarmuk, yang merupakan puncak pembebasan Baitul Maqdis.
Peperangan Ajnadin adalah peperangan terbesar yang terjadi pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq. Peperangan ini dimenangkan oleh kaum muslimin melawan pasukan Romawi. Setelah berhasil mengalahkan pasukan Romawi, Khalid bin Walid langsung mengirim surat kepada Abu Bakar di Madinah untuk menyampaikan kabar tersebut.
Tidak lama setelah mendengar kabar gembira itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq sakit keras. Dia melihat bahwa itu adalah tanda-tanda kematiannya. Dia lalu bermusyawarah dengan beberapa sahabat Rasulullah untuk menentukan khalifah selanjutnya.
Dia meminta pendapat beberapa sahabat, di antaranya ada Abdurahman ibnu Auf. “Apa pendapatmu tentang Umar ibnu Khattab,” tanya Abu Bakar kepada Abdurahman bin Auf.
“Kami tidak mengetahui tentang Umar kecuali kebaikan, dan engkau jauh lebih mengetahui tentang umar dibanding kami.” Jawab Abdurahman. Hal yang sama ditanyakan kepada usman bin Affan. Usman juga memberikan jawaban serupa dengan Abdurahman.
Abu Bakar lalu menunjuk Umar bin Khattab sebagai khalifah selanjutnya. Dia lalu memerintahkan sahabat Usman bin Affan untuk membacakan keputusan khalifah Rasulillah tentang penunjukan Umar bin Khattab sebagai pengganti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Umar bin Khattab Mencopot Khalid bin Walid
Di antara keputusan penting Umar bin Khattab saat diangkat menjadi khalifah adalah mengganti kepemimpinan kaum muslimin yang ada di negeri Syam saat itu, yakni mengganti Khalid bin Walid. Dia lalu mengangkat Abu Ubaidah Al-Jarrah.
Salah satu pendapat yang masyhur mengenai alasan Umar bin Khattab mengganti panglima perang Khalid bin Walid adalah untuk kemaslahatan tauhid. Khalib bin Walid adalah panglima perang yang luar biasa, tidak pernah kalah dalam peperangan, baik sebelum masuk Islam, maupun sesudah masuk Islam. Setelah diangkat menjadi penglima perang sejak zaman khalifah Abu Bakar, Klalid bin Walid selalu menang, sehingga saat itu muncul dalam benak dan keyakinan sebagian kaum muslimin:
“Kalau khalid jadi panglima, pasti menang”
Bahkan sebagian kaum muslimin mengira bahwa Khalid bin Walid “pembuat kemenangan”, sebagian kaum muslimin menyandarkan sepenuhnya hati pada Khalid dan mulai lalai berdoa dan berharap serta meminta kepada Allah SWT. Melihat fenomena ini, Umar bin Khattab mengganti Khalid bin Walid dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Dia paham bahwa Tauhid lebih penting dari segalanya.
“Sesungguhnya aku tidak mencopot Khalid bin Walid karena marah ataupun dia berkhianat, tetapi manusia telah terfitnah dan aku ingin manusia tahu bahwa Allah-lah yang membuat kemenangan.” Kata Umar.
Sumber: Youtube AQL Network Baitul Maqdis
Editor: Moe