Setiap pagi, gelombang baru pengungsi terus berdatangan ke Kamp At-Taqwa di lingkungan Sheikh Radwan, Gaza barat. Mereka datang membawa anak-anak yang lelah kelaparan dan tas-tas kosong, berharap mendapat tempat bernaung. Namun jawaban yang mereka terima menyayat hati: “Maaf, tidak ada ruang lagi… kamp sudah penuh.”

Direktur kamp, Hassan Saad, mengaku tak berdaya di hadapan penderitaan yang terus bertambah. “Sebelum serangan terakhir, kamp ini hanya menampung 70 keluarga. Kini, sudah ada lebih dari 270 keluarga, 170 di antaranya berasal dari Gaza utara,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

“Kami tidak sanggup menutup pintu di wajah mereka, tapi ke mana harus menampung semua ini?”

Sebagian keluarga terpaksa mendirikan tenda di jalanan, di trotoar, bahkan di dekat tempat pembuangan sampah pusat yang mengeluarkan bau busuk dan dipenuhi bangkai hewan. “Orang-orang tidur di antara serangga, lalat, nyamuk, kecoak, hingga tikus yang menyusup masuk ke tenda membawa berbagai penyakit kulit,” keluh Saad.

Menurut analisis lembaga verifikasi berita Sanad di Al Jazeera, 72% wilayah Gaza saat ini dikategorikan sebagai zona berbahaya akibat peringatan evakuasi masif yang diumumkan Israel sejak kembali melanjutkan serangan pada 18 Maret 2025.

Puncak perintah evakuasi terjadi pada operasi militer “Arabot Gideon” yang menyasar wilayah utara dan timur Gaza. Akibatnya, ratusan ribu warga terpaksa meninggalkan rumah mereka di daerah-daerah seperti At-Tuffah, Shuja’iya, Zaytoun, dan sebagian Hayy Ad-Daraj.

Kehidupan di Tengah Kengerian

Kondisi Kamp At-Taqwa semakin parah karena lokasinya yang berdekatan dengan kolam Sheikh Radwan, yang dulunya menampung air hujan, kini berubah menjadi kubangan limbah. “Kami dikepung air kotor dari satu sisi, dan sampah dari sisi lain. Orang-orang hanya berusaha bertahan hidup di tengah penderitaan ini,” ujar Saad.

Air bersih menjadi barang mewah. Warga berbaris di pinggir jalan, memegang galon kosong, menunggu truk air yang entah datang atau tidak. “Kami tidak punya jadwal pasti, hanya menunggu dengan harap-harap cemas,” jelas Saad. Pihak kamp hanya mampu menyediakan 3.000 liter air setiap 3 hari, itupun hanya untuk keperluan kebersihan.

Tak jauh dari situ, di pinggiran Hayy Ar-Rimal, terletak Kamp Ash-Shabirin yang menampung 44 keluarga. Menurut pengelolanya, Abdurrahman Saqqallah, setiap hari kamp ini didatangi pengungsi baru. “Kami terpaksa menolak mereka, karena tidak ada lagi ruang,” katanya. Banyak keluarga akhirnya berbagi tenda, sampai satu tenda diisi 10–15 orang.

Cuaca panas memperburuk kondisi. “Saat siang, masuk ke tenda serasa masuk ke dalam panci mendidih,” ucap Saqqallah.

Persoalan air di kamp ini pun sama parahnya. Mereka hanya bergantung pada pasokan air dari rumah sakit terdekat yang hanya diberikan satu jam per hari. Sementara sampah menumpuk di depan tenda, menarik tikus dan anjing liar, mengeluarkan bau busuk yang menyesakkan napas.

Karena tidak ada toilet umum, warga membuat toilet darurat di dalam tenda dengan sumur resapan sederhana. “Situasi ini memperparah bencana kesehatan yang sudah terjadi,” kata Saqqallah.

Gaza yang Didesain untuk Mati

Di balik semua penderitaan ini, pemerintah kota Gaza berjuang dengan sisa tenaga. Menurut Wali Kota Gaza, Yahya Al-Sarraj, pasukan Israel telah menghancurkan 70–80% infrastruktur kota, termasuk 70% armada kendaraan dan peralatan milik pemerintah kota.

“Sekarang ada sekitar 1,2 juta penduduk di kota Gaza, termasuk 400 ribu pengungsi dari Gaza utara. Mereka semua berdesakan di kurang dari 40% wilayah kota yang tersisa,” jelas Al-Sarraj kepada Al Jazeera Net.

Bagian timur kota nyaris tak bisa diakses lagi. Warga terpaksa mendirikan tenda di trotoar dan pinggir pantai, yang kini jadi satu-satunya “tempat aman” yang tersisa.

Menurut Al-Sarraj, penghancuran masif di wilayah timur bukan sekadar serangan militer. “Mereka menghancurkan gedung, memindahkan reruntuhan tanpa alasan yang jelas. Pesannya jelas: mereka ingin Gaza tidak lagi layak dihuni, agar orang tidak bisa kembali,” tegasnya.

Sumber air bersih pun sangat terbatas. “Rata-rata hanya 3 sampai 5 liter per orang per hari,” ungkap Al-Sarraj.

Meskipun sempat berhasil mengaktifkan sekitar 1.000 sumur pribadi setelah gencatan senjata Januari lalu, kekurangan bahan bakar membuat upaya itu runtuh. Semua stasiun pengolahan air limbah pun berhenti total, kecuali satu yang bekerja sebagian. “Kami terpaksa mengalirkan limbah langsung ke laut, padahal laut adalah satu-satunya tempat bagi warga untuk mencari ketenangan, dan beberapa bahkan menggunakannya untuk mandi,” katanya.

Al-Sarraj menegaskan, di tengah kehancuran dan minimnya sumber daya, tim kotanya terus bekerja tanpa gaji. “Kami kehilangan 50 petugas kota dalam serangan ini, tapi tidak pernah berhenti satu hari pun,” tegasnya.

Ia pun menutup dengan seruan kepada dunia: “Kami butuh dukungan segera, terutama untuk membuka jalan, memperbaiki sumur, agar kami bisa terus melayani warga dan membantu mereka bertahan di tanah mereka sendiri.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here